PENGANTAR
Pada akhir Juli 2016 yang lalu saya diminta untuk mempresentasikan tema Perjumpaan Wayang dan Injil dalam pertemuan Ikatan Sarjana Biblika Indonesia di Toraja. Dalam proses mengumpulkan bahan presentsi itulah saya disentakkan oleh kekayaan tradisi iman Katolik yang terdapat di Keuskupan Malang dan belum banyak diungkap dan dipublikasikan, yakni relief wayang batu di pastoran paroki Tumpang, Malang, yang dibuat oleh alm. Rm. R. Ach. Tedjapratama O.Carm pada tahun 1974. Selain itu, dalam kesempatan ini saya hendak membagikan sebuah syair kidung Slaka (Slawatan Katolik) yang dipentaskan Kelompok Slaka Wilayah Martinus Paroki Promasan dalam acara Pertemuan Nasional Komisi Misioner KWI pada April 2016 lalu. Saya sungguh terkesan karena dalam salah satu syairnya terungkap keyakinan iman yang mendalam akan Gusti Yesus dalam konteks budaya setempat. Sebuah ungkapan iman yang bisa meneguhkan umat Katolik lainnya
HOMILI
Wayang Batu : Pementasan Permanen
Dalam buku Wayang: Asal-usul, Filsafat, dan Masa Depannya (Jakarta: CV Masagung, 1989) Sri Mulyono mendaftar pelbagai jenis wayang yang berkembang di Indonesia. Ada wayang yang disebut berdasarkan ceritanya (wayang purwa, madya, gedog, kelitik, menak, wahyu, Pancasila, makrifat), berdasarkan teknis memainkannya (wayang beber), atau dari bonekanya (wayang kulit, wayang kayu, wayang golek (kayu berpakaian), wayang orang, wayang bambu, dsb). Namun, masih ada jenis lain, yakni wayang yang dipentaskan secara permanen sebagai relief-relief candi yang menampilkan adegan siklus Ramayana atau Mahabharata. Sri Mulyono menyebutnya sebagai wayang batu atau wayang candi. Beliau juga menyebut pelbagai cerita wayang yang dipahatkan sebagai relief candi (1989:158-169), antara lain pada Candi Larajonggrang (cerita Ramayana), candi Prambanan (cerita Kresna), Pemandian Jalatunda (cerita Sayembara Drupadi), Gua Selamangleng (cerita Arjunawiwaha), candi Jago Tumpang (cerita Tantri, Kunjarakarna, Partayana, Arjunawiwaha, dan Kresnayana), Gua Pasir di Tulungagung (cerita Arjunawiwaha, candi Penataran (cerita Sawitri dan Ramayana), Tegawangi di Kediri (cerita Sudamala), Kedaton Gunung Hyang (cerita Rama, Bimasuci, Mintaraga, cerita Panji), dan Candi Sukuh (cerita Sudamala, Gameda, Bimasuci).
Kenyataan yang menarik adalah tidak jauh dari candi Jago Tumpang, ternyata juga terdapat relief wayang batu zaman modern. Tepatnya berada di ruang tamu pastoran paroki Tumpang, sebelah timur kota Malang. Sebuah relief wayang batu yang menampilkan adegan Dewi Drupadi memberikan Jamus Kalimasada kepada Gatotkaca palsu. Relief ini dipahatkan saat pembagunan pastoran pada tahun 1974 atas ide Romo R. Ach. Tejapratama O.Carm yang konon masih kerabat kraton Mangkunegaran dan pemerhati Kejawen. Lakon apa yang sesungguhnya ditampilkan dalam adegan di atas?
Terus-terang mesti saya akui, saya tidak menguasai dunia pewayangan, dulu waktu kecil memang sering nonton wayang, bahkan waktu kelas I-II SD sering nimbrung nonton kakak kelas berlatih mendalang di rumahnya. Saat kelas V SD tontonan yang sering ditanggap orang punya hajat adalah video, sehingga saya jadi jarang nonton wayang. Gara-gara mendapat tugas dari ISBI itu, saya mulai membuka-buka literature soal wayang. Jalan pintasnya saya tanya mbah google, dan ketemulah info tentang adegan tersebut. Ternyata Gatotkaca yang menerima Jamus Kalimasada dari Dewi Drupadi itu Gatotkaca palsu. Sebenarnya dia adalah Mustakaweni yang mengubah diri menjadi Gatotkaca. Adegan ini terdapat dalam lakon "Membangun Candi Sapta Arga". Bagaimana kisah singkatnya?
Dikisahkan bahwa para pendhawa tengah memugar Candi Saptorenggo. Namun mereka mengalami kesulitan, dipugar hari ini, esoknya sudah runtuh, tanpa tahu penyebabnya. Padahal tengah malam juga sudah dijaga. Maka dipanggillah Prabu Kresna untuk melihat dan memberikan saran. Setelah melihat kondisi tersebut, maka Kresna mengajak para pendhawa bersama-sama ke pertapaan keramat Sapta Arga. Sedangkan Nakula dan Gatotkaca ditugasi untuk menjaga kompleks Candi Saptarenggo yang lagi mangkrak renovasinya.
Nah, saat itulah datang Dewi Mustakaweni, seorang Putri cantik dari raja raksana Prabu Niwatakawaca dari Kerajaan Manimantaka. Dia hendak membalaskan dendam atas kematian ayahnya yang telah terbunuh oleh Arjuna. Menyadari bahwa para Pandhawa memiliki senjata ampuh, Jamus Kalimasada, maka dia mencari siasat untuk mencurinya. Atas bantuan seorang pertapa dia mendapatkan aji Kamayan sehingga bisa merubah diri menjadi Gatotkaca. Kenapa memilih menjadi Gatotkaca, karena Gatotkacalah yang ditugasi menjaga proyek renovasi Candi Saptarenggo. Kalau memilih Nakula, dia sendiri bingung dengan kembaran Nakula, si Sadewa. Jadi, paling aman mengubah diri menjadi Gatotkaca palsu. Maka si Gatotkaca palsu ini pun menemui Dewi Drupadi, istri Raja Yudhistira, yang menyimpan senjata ampuh itu. Setelah menceritakan kesulitan proyek renovasi Candi Saptorenggo, Gatotkaca palsu pun bermaksud meminjam pusaka sakti itu demi kelancaran proses pembangunan candi itu. Tanpa curiga Dewi Drupadi pun meminjamkan senjata ampuh Pendhawa yang berbentuk sebuah kitab kepada keponakannya. Adegan inilah yang dipahatkan dalam relief wayang batu di ruang tamu pastoran Tumpang.
Kisah berikutnya, ternyata penyamaran Mustakaweni ketahuan oleh Srikandi yang segera berusaha merebut senjata itu. Namun, sayang Mustakaweni segera melesat ke udara sehingga Srikandi hanya bisa menangisi kegagalannya. Bagaimana kisah selanjutnya? Silakan nanggap wayang lakon itu ya
Dalam tulisan ini saya hendak mendalami alasan mengapa Rm. Tedjapratama justru memilih adegan Dewi Drupadi memberikan Jamus Kalimasada kepada Gatotkaca palsu? Bukankah senjata ampuh Pandhawa ini justru kerap dikait-kaitkan dengan Kalimat Syahadat? Apalagi menurut Sri Mulyono, lakon "Membangun Candi Sapta Arga" merupakan lakon carangan (rekaan, diluar kisah babon Mahabharata dan Ramayana) pasca Majapahit dengan maksud agar orang tidak lagi mengeramatkan candi sebagai tempat ibadah (Sri Mulyono, 1989:78). Sayang sekali bahwa Romo Tedjapratama telah lama berpulang dan saya tidak menemukan penjelasannya dalam sumber tertulis maupun para saksi hidup alasan di balik pemilihan adegan ini. Seandainya pun beliau menyetujui pandangan Dr. Kuntara Wignyasumarta SJ, bahwa asal usul kata kalimasada itu bukanlah dari kata Kalimat Syahadat, melainkan dari kata Kalimahosaddha. Kata ini terdapat dalam Kakawin Bharatayuddha yang ditulis pada tahun 1157 pada pemerintahan Raja Jayabaya di Kediri. Istilah tersebut sebenarnya berasal dari kata "Kali-Maha-Usadhha" artinya obat mujarab Dewi Kali. Dewi Kali adalah nama lain dari Dewi Durga alias dewi kematian. Maka pusaka ini sangatlah ampuh, karena yang memegangnya, bila sakit akan menjadi sembuh dan kalaupun mati akan hidup lagi karena mendapatkan obat dari dewi kematian sendiri.
Namun, persoalannya belum terjawab. Apakah pemilihan adegan wayang batu pastoran Tumpang itu hanya menegaskan bahwa Jamus Kalimasada itu obat mujarab dewi Kali? Lalu, apa pentingnya menampilkan adegan itu di ruang tamu pastorannya sehingga menimbulkan rasa penasaran para tamu yang berkunjung? Apakah sekedar menegaskan bahwa Jamus Kalimasada itu bukanlah kalimat syahadat seperti diklaim banyak orang? Apakah sekedar itu? Agaknya titik terang penjelasannya bisa kita temukan apabila kita menghubungkannya dengan "wayang batu Injil" yang juga dipahatkan di teras depan pastoran yang dibangun pada tahun yang sama.
Wayang batu ini menampilkan adegan Nabi Elia naik ke surga. Menurut saya alasan pemilihan adegan ini barangkali karena beliau adalah romo Karmelit (O.Carm), penerus nabi Elia yang bertanding melawan nabi-nabi dewa Baal di gunung Karmel. Tetapi bila kita mencermatinya lebih seksama, ternyata Rm. R. Ach. Tedjapratama O.Carm menafsirkan ulang adegan 2 Raj 2:11 "Sedang mereka (Nabi Elia dan Elisa) berjalan terus sambil berkata-kata, tiba-tiba kereta berapi memisahkan keduanya, lalu naiklah Elia ke sorga dalam angin badai." Pada ayat berikutnya Elisa berseru, "Bapaku, bapaku! Kereta Israel dan orang-orangnya yang berkuda!" Di sini teks hanya menyebut kereta Israel dan kereja berapi, tidak menyebut secara eksplisit binatang apa yang menariknya! Hanya penulis kitab Sirakh mengeksplisitkan adegan ini, "Dalam olak angin berapi engkau diangkat, dalam kereta dengan kuda-kuda berapi" (Sir 48:9).
Namun, dalam "wayang batu injil" ini kereta itu ditarik oleh lembu dan singa, sementara ada rajawali yang ikut duduk dalam kereta, di samping Nabi Elia yang berjubah putih dengan memegang lilin di tangan kiri dan cambuk di tangan kanan. Di sisi kiri kereta terdapat tabung panah berisi penuh. Adakah penjelasan alegoris untuk masing-masing tokoh dalam relief ini? Ternyata di bagian atas "wayang batu Injil" itu terdapat tulisan dengan huruf Jawa yang berbunyi: Catur Suka Marganing Urip! Artinya: Empat (kabar) gembira, jalan kehidupan! Rupanya yang dimaksudkan dengan Catur Suka itu adalah keempat Injil yang dilambangkan dengan lembu (Injil Lukas), Singa (Injil Markus), Rajawali (Injil Yohanes), dan manusia (Injil Matius). Keempat kabar gembira inilah yang menjadi jalan kehidupan. Lilin yang dipegang nabi Elia mengingatkan kita akan dendang penuh iman pemazmur: "Firman-Mu itu pelita bagi kakiku dan terang bagi jalanku" (Mzm 119:105). Sementara cambuk yang memacu laju singa dan lembu barangkali bisa ditafsirkan alegoris berkaitan dengan fungsi Kitab Suci, "Segala tulisan yang dilhamkan Allah memang bermanfaat untuk mengajar, untuk menyatakan kesalahan, untuk memperbaiki kelakuan dan untuk mendidik orang dalam kebenaran" (2 Tim 3:16). Tabung yang penuh anak panah mengingatkan kita akan Mzm 127:5, dimana orang yang memiliki tabung berisi penuh anak panah tidak akan merasa malu berhadapan dengan musuh-musuhnya. Ayat ini disejajarkan dengan orang yang diberkati Tuhan dengan anak-anak lelaki dan buah kandungan yang banyak. Keturunannya itu ibarat anak-anak panah di tangan seorang pahlawan. Barangkali di sini mau disimbolkan tentang berkat Tuhan bagi mereka yang mengikuti Catur Suka akan menemukan Marganing Urip (jalan kehidupan) maka akan memperoleh kemenangan, kesejahteraan, dan kemuliaan. Maka di sini kita perlu membacanya bersama dengan mazmur berikutnya, sebagai konteks dekat Mzm 127. Secara eksplisit Mzm 128 menyebutkan pelbagai berkat jasmani seperti hasil panen melimpah, keadaan serba baik, istri subur, dianugerahi banyak anak, berbahagia boleh melihat Yerusalem dan cucu-cicit kelak. Semua berkat ini dijanjikan pada setiap orang yang takut akan Tuhan dan mengikuti jalan yang ditunjukkan Tuhan (Mzm 128:1.4). Yang pasti tujuan perjalanan Elia yang terangkat adalah surga untuk menghadap Tuhan. Masuk surga merupakan bentuk keadaan slamet paripurna bagi manusia, demikian pula kebahagiaan boleh tinggal di hadirat Tuhan selamanya merupakan kerinduan orang Jawa untuk mengalami Manunggaling kawula-Gusti (bersatunya hamba dengan Tuhannya).
Keempat kitab Injil inilah yang akan mengantar orang pada jalan kehidupan, menuju hidup sejati dan mereka yang menghidupinya akan diantar menghadap Tuhan ke surga (bdk. Mat 7:21-23). Bukankah ini obat paling mujarab untuk melawan kematian, "Jamus Kalimasada", sebuah jimat ampuh Pandhawa berbentuk sebuah kitab! Yesus yang dikisahkan dalam Catur Suka itu berkata "Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataan-Ku dan percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari dalam maut ke dalam hidup" (Yoh 5:24). Kiranya melalui dua wayang batu injili ini Rm. R. Ach. Tedjapratama O.Carm mau mangatakan bahwa Jamus Kalimasada yang berbentuk kitab itu tak lain adalah keempat Injil yang mewartakan Yesus, Sang Jalan, Kebenaran, dan Hidup (Yoh 14:6). Hanya melalui Dialah orang akan sampai kepada Bapa di sorga.
Apa yang bisa kita tarik sebagai pelajaran dari kreativitas Romo Tedjapratama ini? Sebuah wayang batu injil memang memungkinkan pementasan yang permanen, menjadi sarana pewartaan, dan bisa menampilkan simbol-simbol yang mengungkapkan keyakinan iman yang tidak cukup dengan dibicarakan dan ditulis, tetapi juga perlu diwujudkan secara fisik sehingga kapan saja melihat dan mengingatnya, orang disadarkan akan pesannya. Maka apa yang telah dibuat oleh Romo Tedjapratama, membuat wayang batu injil, kiranya bisa memberi inspirasi untuk melengkapi sisi artistik yang sarat simbol pada gedung-gedung pastoran ataupun aula paroki dewasa ini.
Perlukah orang Katolik Diruwat?
Dalam mengeksplorasi perjumpaan wayang dan Injil, akhirnya saya juga harus berbicara soal ruwatan dimana para dalang ruwat diminta mementaskan lakon Murwakala atau Sudamala dan melakukan upacara ruwatan bagi anak-anak sukerta. Yang dimaksud anak-anak sukerta adalah mereka yang terdaftar sebagai mangsa Batharakala (Sang Penguasa waktu), mulai dari yang karena situasi kelahirannya: anak tunggal, dua anak bersaudara, tiga anak dimana yang diapit cowok atau cewek, dst. Pendeknya, nyaris semua anak generasi KB masuk daftar mangsa Batharakala! Lalu, ada yang masuk sukerta karena melakukan "kesalahan" seperti tidur di kasur tanpa seprei, menggulingkan dandang, dsb. Informasi lengkap dan diskusi panjangnya bisa disimak dalam pelbagai artikel di Jurnal Studia Philosopica et Theologica Vol 6, edisi 2, Oktober 2006. Singkatnya, rationale (alasan) daftar sukerta adalah tidak jelas. Tidak ada kaitannya dengan dosa yang pernah dilakukan oleh seseorang. Penjelasan tentang dosa sosial untuk praktek ruwatan, bagi saya hanya dicari-cari untuk membenarkan praktek ruwatan. Bila hal itu dikaitkan dengan dosa sosial, sebenarnya yang harus diruwat dan bertobat itu para elit politik yang banyak menyengsarakan rakyat, bukannya orang-orang yang dikategorikan sukerta!
Bila dalam diskusi ISBI tentang Wayang dan Injil saya mengangkat wayang sebagai warisan seni budaya leluhur yang perlu diangkat dan dimanfaatkan utuk pewartaan Injil, tidak berarti kita harus menerima semua filosofi yang ditawarkan dalam dunia wayang, apalagi bila bertentangan dengan iman Katolik. Pengelompokan orang-orang sukerta tentunya bertentangan dengan prinsip bahwa Tuhan menciptakan semua manusia baik adanya (Kej 1). Secara guyon, saya katakan bahwa Yesus Kristus itu juga anak tunggal, tetapi tidak diruwat karena si Batharakala sudah takut duluan. Maka pengikut Yesus juga tidak perlu takut sama Batharakala! Namun, harus saya akui, banyak umat Katolik kemudian menjadi bingung dan ikut-ikutan ingin diruwat, karena yang menyarankan dan mempromosikannya justru kaum religius! Saya teringat saat itu diadakan seminar tentang ruwatan di Aula Dempo pada tahun 2006, setelah mendengar aneka masukan, tiba-tiba seorang pastor paroki berceletuk, "Wah, nggak jadi dapat uang nih!" Di sini jelas, apa motivasi "paroki" mengadakan ruwatan, sebenarnya sekedar untuk menggali dana, entah untuk aneka tujuan yang suci-sucilah, namun dengan cara "mempertaruhkan iman umat!"
Dalam buku Dalang di balik Wayang (Jakarta: Grafiti Press, 1987) Victoria M. Clara van Groenedael menyatakan bahwa tidak semua dalang bisa mengadakan ruwatan. Seorang dalang ruwat haruslah memiliki silsilah dalang, telah mendapat izin dari ayahnya yang dalang ruwat senior, dan telah berhasil membesarkan dan mendidik semua anaknya.
Maka, kalaupun dalam Gereja Katolik masih ada yang mempromosikan ruwatan, saya secara pribadi justru disentakkan oleh ungkapan iman sederhana dan mendalam yang terungkap dalam kidung Slaka (Slawatan Katolik). Bagi orang Asia, teologi itu tidak hanya tersimpan dalam buku-buku, tetapi juga dalam cerita, puisi, lagu, seni lukis, seni tari, patung, simbol, ritus, doa, dan alat-alat budaya. Melalui watung batu injil Catur Suka Marganing Urip, Rm. Tedjapratama telah berteologi tentang apakah jamus kalimasada itu. Demikian pula dalam lagu atau kidung slaka terungkap iman kita.
Saat menikmati pentas Slaka Wilayah Martinus Paroki Promasan pada Pernas Komisi Misioner KWI, saya duduk bersebelahan dengan Rm. Bambang Doso Pr, imam praja Keuskupan Banjarmasin dan anggota Komisi Misioner KWI. Sebagai orang Jawa dan sama-sama belajar Kitab Suci, kami berdua berdecak kagum akan syair-syair kidung Slaka yang konon dibuat oleh Barnabas Sarikrama, katekis Sendangsono yang mengajak rekan-rekannya memeluk iman Katolik dan dibaptis Romo Van Lith SJ. Entah kebenarannya siapa yang menyusunnya, syair-syairnya sangat alkitabiah dan puitis. Saya beri satu dua contohnya berikut ini:
Lagu: Manten ing Kana, saya cuplikkan bait II dan Bait III:
Awit mesti nandhang wirang isin
Ibu Maria tan tega, tan mentala penggalih ira
Priksa prihatining putra, ngawe Sri Yesus Njeng Gusti
Bait III Ririh wedharing sabda, Dyah Maria njeng Ibu
Bojana durung rampung, unjukan telas mamprung
Goci kothong gumlundhung, kang mantu sambat dhuh biyung
Indah sekali kisah Perkawinan di Kana dituturkan lagi dengan sederhana tetapi menyentuh hati karena adanya perulangan bunyi (rima) dan juga relevan dengan pendengar saat ini: Priksa prihatining putra tulungana dulurMu
Lagu: Roti Lima Iwak Loro, saya cuplikkan bait II.
Padha duwe roti pira
Gusti, wonten roti gangsal sarta ulam kalih, badhe kangge menapa
Gusti, wonten roti gangsal sarta ulam kalih, badhe kangge menapa
Gawa mrene, Gusti nuli mberkahi
Dha lungguha ing suket, nggrombola nyeket-nyeket,
Gusti nyuwil roti sarta ulam, dhawuh ngedum marang wong golongan
Miturut sak panjaluke
Wong lanang limang ewu, wong wadon ora kapetung
Kabeh…wareg…turah, turah
Itu sedikit gambaran syair-syair Slaka dari paroki Promasan. Nah, kembali soal ruwatan, saya terkesan dengan lagu slaka berjudul Rangu-Rangu pada bagian bawa berbunyi demikian:
Pandhita maha Pandhita, Pandhita kang maha limpat,
Parama wadyeng sanyata, mengku liring kasujanan Dalem....samar
Memayu jana lungsit, asih sesamining dumadya. Amin.
Mugi kersa nampi sowan kula
Dhuh Gusti sang Pamarta Pangruwating Jagat raya,
Gusti kula
Pada kalimat yang saya cetak tebal di atas terungkap keyakinan iman bahwa Tuhan Yesus, Sang Pewarta Kabar Baik, Dialah yang meruwat alam semesta. Maknanya di sini Tuhan Yesuslah yang bertindak sebagai pembebas bagi seluruh alam semesta, apalagi untuk orang-orang sukerta. Maka orang-orang sukerta tidak perlu diruwat agar dibebaskan oleh Ki dalang Kandhabuwana dari incaran Batharakala, tetapi cukup mengandalkan Gusti Yesus, yang berkuasa dan yang meruwat semesta alam. Keyakinan iman bahwa Yesuslah pembebas dan pembaharu alam semesta sejalan dengan pernyataan Alkitab. Oleh Yesus Kristuslah Allah "memperdamaikan segala sesuatu dengan diri-Nya, baik yang ada di bumi, maupun yang ada di surga, sesudah Ia mengadakan pendamaian oleh darah salib Kristus" (Kol 1:20). Kelak pada kegenapan waktu Allah akan "mempersatukan di dalam Kristus sebagai Kepala segala sesuatu, baik yang di sorga maupun yang di bumi" (Ef 1:10). Maka segala kuasa di surga maupun di bumi, yang kelihatan maupun yang tak kelihatan, termasuk "si Batharakala" tunduk menyerah di bawah kuasa Kristus (bdk. Flp 2:8-11).
aka menjadi hal yang mengherankan bahwa orang-orang Katolik pada masa lalu sudah sedemikian yakin bahwa Gusti Yesuslah yang telah meruwat alam semesta, kenapa pada zaman sekarang ini orang-orang Katolik justru kurang yakin dengan imannya dan masih mengharapkan diruwat oleh Pak dalang ruwat? Menurut saya, dalam hal ini justru terjadi kemunduran iman dan kita perlu bercermin pada keteguhan iman orang-orang Jawa yang telah mendahului menjadi pengikut Kristus dan telah dibebaskan dari segala rasa takut yang diciptakan oleh warisan budaya.
Didik Bagiyowinadi Pr
kumpulan Homili Mgr. FX. Hadisumarta O.Carm