Kalender Liturgi hari ini
Kitab Hukum Kanonik
No. kanon: contoh masukan no kanon: 34,479,898-906
KITAB SUCI +Deuterokanonika
: - Pilih kitab kitab, masukan bab, dan nomor ayat yang dituju
Katekismus Gereja Katolik
No. : masukkan no. katekismus yang dikehedaki, misalnya 3, 67, 834 atau 883-901
Materi iman
Dokumen Gereja

No: masukkan no. yang dikehedaki - 0 (nol) untuk melihat daftar isi-(catatan kaki lihat versi Cetak) 

 

 

Pendekatan-Pendekatan yang Menggunakan Ilmu-Ilmu Manusia


Untuk mengomunikasikan dirinya, Sabda Allah berakar dalam kehidupan komunitas manusia (bdk. Sir24:12)dan melalui disposisi psikologis dari berbagai macam pribadi yang menyusun tulisan-tulisan alkitabiah ini, Sabda Allah itu bisa ditelusuri. Berkaitan dengan itu, ilmu-ilmu manusia-khususnya sosiologi, antropologi, dan psikologI-dapat memberikan sumbangannya untuk memahami aspek-aspek tertentu dari teks alkitabiah secara lebih baik. Namun demikian, harus disadari bahwa di bidang ini ada banyak aliran pemikiran, masing-masing dengan perbedaan yang cukup besar sehubungan dengan karakteristik dasar dari ilmu-ilmu tersebut. Bagaimanapun juga, sejumlah ekseget akhir-akhir ini sudah banyak mengambil keuntungan dari penelitian seperti ini.

1.Pendekatan Sosiologis
Teks-teks religius terikat secara timbal balik dengan masyarakat dari mana teks itu berasal. Sehubungan dengan Alkitab, hal ini sangat jelas. Konsekuensinya, studi ilmiah tentang Alkitab menuntut pengetahuan setepat mungkm tentang berbagai kondisi sosial dari berbagai lingkungan di mana tradisi-tradisi yang terekam dalam Alkitab memperoleh bentuknya. Informasi sosio-historis seperti ini perlu kemudian dilengkapi dengan penjelasan sosiologis yang akurat, yang memberikan suatu penafsiran ilmiah atas implikasi-implikasi dari setiap situasi dari kondisi sosial yang ada.

Sudut pandang sosiologis telah berperan dalam sejarah penafsiran selama beberapa waktu. Perhatian Kritik-Bentuk (Form-criticism) yang terarah pada lingkungan-lingkungan sosial dari mana teks-teks tertentu muncul (Sitz im Leben) sudah merupakan suatu petunjuk tentang hal ini. Metode ini mengakui bahwa tradisi alkitabiah membawa tanda-tanda dari lingkungan sosio-budaya yang meneruskan tradisi tersebut. Dalam sepertiga pertama abad ke-20, Mazhab Chicago mempelajari situasi sosio-historis dari Kekristenan awal, dan dengan demikian memberikan suatu dorongan khusus pada metode historis-kritis. Selama dua puluh tahun terakhir (1970-1990), pendekatan sosiologis atas teks-teks Kitab Suci sudah menjadi bagian integral dari eksegese.

Sehubungan dengan eksegese Perjanjian Lama, bidang ini bisa menimbulkan banyak pertanyaan. Misalnya, orang bisa bertanya mengenai berbagai bentuk organisasi sosial dan religius yang dikenal oleh bangsa Israel dalam perjalanan sejarahnya. Untuk periode sebelum pembentukan negara-bangsa, apakah model etnologis suatu masyarakat yang terpisah-pisah dan tanpa pemimpin yang mempersatukan (acephalous) bisa memberi dasar yang memuaskan sebagai titik tolak? Proses apa yang terjadi yang membuat suatu persekutuan suku-suku yang terorganisir secara longgar menjadi, pertama-tama, suatu negara monarki yang terorganisir, dan kemudian menjadi suatu komunitas yang dipersatukan hanya dengan ikatan-ikatan agama dan keturunan? Perubahan-perubahan apakah, dalam bidang ekonomi, militer, atau yang lainnya, yang dihasilkan oleh gerakan yang mengarah pada sentralisasi politik dan agama yang menuntun ke monarki? Bukankah studi ten tang hukum-hukum yang mengatur tingkah laku sosial di Timur Tengah Kuno dan di Israel memberi sumbangan yang lebih berguna untuk memahami Dekalog (Dasa Firman Allah) dibandingkan usaha-usaha yang semata-mata bersifat literer untuk merekonstruksi bentuk teks paling awal?

Untuk eksegese Perjanjian Baru, persoalannya jelas akan sedikit berbeda. Marilah kita sebutkan beberapa: untuk menjelaskan cara hidup yang dijalankan Yesus dan para murid-Nya sebelum Paskah, nilai apakah yang dapat dihasilkan dengan teori ten tang para tokoh karismatis yang selalu berkeliling, yang hidup tanpa tempat tinggal yang tetap, tanpa keluarga, tanpa uang dan barang-barang lain? Berkaitan dengan panggilan untuk mengikuti Yesus, dapatkah kita berbicara tentang hubungan yang sesungguhnya antara kelepasbebasan radikal untuk mengikuti Yesus dalam kehidupan-Nya di dunia dan apa yang dituntut dari anggota-anggota gerakan Kristiani sesudah Paskah dalam kondisi-kondisi sosial Kekristenan awal yang sangat berbeda? Apa yang kita ketahui ten tang struktur sosial masing-masing komunitas-komunitas Paulus, dalam budaya urban yang relevan?

Secara umum, pendekatan sosiologis memperluas upaya eksegetis dan memberikan banyak aspek positif. Pengetahuan akan data sosiologis yang membantu kita untuk memahami bagaimana bidang ekonomi, budaya, dan agama berfungsi dalam dunia alkitabiah merupakan sesuatu yang sangat diperlukan bagi kritik historis. Tugas wajib para ekseget, yaitu untuk memperoleh pemahaman yang lebih baik tentang kesaksian iman Cereja perdana, tidak dapat dicapai sepenuhnya tanpa riset ilmiah yang mempelajari hubungan yang tepat an tara teks Perjanjian Baru dengan kehidupan yang sesungguhnya yang dihayati oleh Gereja perdana. Penerapan model-model yang disediakan oleh ilmu-ilmu sosial menawarkan kepada studi hitoris tentang periode alkitabiah suatu poten.si utama bagi pembaruan-meskipun tentu saja harus diperhatikan bahwa model-model yang diterapkan harus dimodifikasi menurut realitas yang dipelajari.

Sekarang marilah kita tunjukkan beberapa risiko yang berkaitan dengan penerapan pendekatan sosiologis p.ada eksegese. Tentu saja orang akan menemukan kesulitan saat berusaha menerapkan metode sosiologis tertentu pada masyarakat historis yang berasal dari masa lalu yang jauh,jika metode sosiologis ini dicapai dengan cara seperu mempelajari masyarakat yang sekarang ini ada. Teks-teks alkitabiah maupun non-alkitabiah tidak harus merupakan suatu dokumentasi yang memadai untuk membenkan gambar komprehensif ten tang masyarakat. zaman itu. Lebih lagi metode sosiologis cenderung lebih memperhatikan aspek ekonomis dan institusional dan kehidupanan manusia daripada dimensi-dimensi personal dan religius.

2.Pendekatan melalui Antropologi Budaya
Pendekatan terhadap teks-teks alkitabiah yang menggunakan kajian antropologi budaya mempunyai kaitan erat dengan pendekatan sosiologis.
Perbedaan an tara kedua pendekatan ini terletak pada tahap persepsi, pada metode dan pada aspek dari realitas

yang sedang diselidiki. Kalau pendekatan sosiologis-seperti yang baru saja kita lihat-terutama mempelajari aspek-aspek ekonomi dan institusional, pendekatan antropologis lebih memperhatikan aspek-aspek lain yang lebih luas, yang tercermin dalam bahasa, seni, agama, namun Juga dalam pakaian, perhiasan, perayaan, tarian, mitos, legenda, dan semua yang berkaitan dengan etnografi. Pada umumnya, antropologi budaya mencoba mendefinisikan karakteristik bermacam-macam tipe manusia di dalam konteks sosial mereka-seperti misalnya "orang MedIterania"-dengan segala seluk-beluknya, dengan cara mempelajari.konteks desa dan kota dengan memperhatikan nilai-nilai yang diakui oleh masyarakat yang sedang dibicarakan terse but (kehormatan dan kecemaran kerahasian, kesetiaan, tradisi, berbagai macam pendidikan dan sekolah), sarana di mana kontrol sosial dilakukan ide-ide ten tang keluarga, rumah, kekerabatan, situasi perempuan, dualitas-dualitas yang terlembaga (patron-client,pemihak-penyewa, dermawan-ahli waris, orang bebas-budak), serta memperhatikan juga konsep-konsep umum ten tang yang suci dan yang profan, tabu, ritus-ritus peralihan dari tahap kehidupan yang satu ke tahap yang lain,hal-hal magis, sumber kekayaan, kekuatan, informasi, dan sebagainya. Atas dasar unsur-unsur yang bermacam-macam ini, tipologi dan "model-model" disusun, yang diklaim sebagai sesuatu yang berlaku umum dalam sejumlah budaya.

Jelaslah bahwa studi semacam ini dapat berguna bagi penafsiran teks-teks alkitabiah. Studi ini secara efektif sudah diterapkan pada studi ten tang ide kekerabatan dalam PerjarUian Lama, ten tang kedudukan perempuan dalam masyarakat Israel, ten tang pengaruh upacara-upacara dari dunia pertanian, dan sebagainya. Dalam teks-teks yang memuat ajaran Yesus, misalnya perumpamaan, banyak detail dapat diterangkan berkat pendekatan ini. Demikian juga halnya dengan ide-ide fundamental seperti misalnya Kerajaan Allah atau cara memahami waktu berkaitan dengan sejarah penyelamatan, serta proses yang dialami ketika orang-orang Kristen yang pertama berkumpul bersama dalam komunitas-komunitas. Pendekatan ini membuka kemungkinan untuk membuat pembedaan yang lebih jelas an tara unsur-unsur dari pesan alkitabiah yang permanen, karena mempunyai dasar dalam kodrat manusiawi, dari unsur-unsur yang kontingen, karena merupakan sifat-sifat khusus dari suatu kebudayaan tertentu. Namun demikian, sama halnya dengan pendekatan-pendekatan khusus lainnya, pendekatan ini dalam dirinya sendiri, tidak cukup untuk menentukan isi pewahyuan secara spesifik. Oleh karena itu, perlulah mempertimbangkan hal ini ketika menilai hasil-hasil bernilai yang didapat melalui pendekatan ini.

3.Pendekatan Psikologis dan Psikoanalisis
Antara psikologi dan teologi terus-menerus terjadi dialog. Jangkauan yang makin luas dari penelitian psikologi modern terhadap kajian struktur dinamis dunia bawah sadar telah memunculkan usaha-usaha baru untuk menafsirkan teks-teks kuno, termasuk teks Alkitab. Seluruh diskusi diabdikan pada penafsiran psikoanalisis terhadap teks-teks alkitabiah, yang kemudian menghasilkan diskusi hebat: dengan ukuran apa dan dengan syarat-syarat apa penelitian psikologi dan psikoanalasis dapat memberi sumbangan pada pemahaman yang lebih mendalam terhadap Kitab Suci?

Kajian-kajian psikologis dan psikoanalisis memang bisa memberikan kekayaan tertentu pada eksegese alkitabiah, karena berkat studi-studi tersebut, teks-teks Alkitab dapat dipahami dengan lebih baik, terutama dalam hal pengalaman hidup dan norma-norma tingkah laku. Sebagaimana diketahui, agama selalu berada dalam relasi konflik dan perdebatan dengan apa yang disebut dunia bawah sadar. Dunia bawah sadar memainkan peranan penting sehubungan dengan orientasi yang tepat dari dorongan-dorongan manusiawi. Tahap-tahap yang dilalui oleh kritik historis dalam kajian metodik atas teks-teks tertentu perlu dilengkapi dengan kajian mengenai tingkat-tingkat yang berbeda-beda dari realitas yang ditunjukkan oleh tahap-tahap tersebut. Psikologi dan psikoanalisis mencoba menunjukkan jalan berkenaan dengan hal tersebut. Psikologi dan psikoanalisis menuntun pada suatu pemahaman Kitab Suci yang multidimensional dan membantu memahami bahasa manusia dalam pewahyuan.

Psikologi dan, dengan cara yang agak berbeda, juga psikoanalisis telah menuntun, khususnya, pada suatu pemahaman baru tentang simbol. Bahasa simbol menyediakan kemungkinan bagi ungkapan-ungkapan dari area religius, yang di satu pihak tidak dapat dijangkau oleh semata-mata penalaran konseptual, namun di lain pihak mempunyai nilai autentik bagi ungkapan ten tang kebenaran. Karena alasan ini, studi interdisipliner yang dilaksanakan bersama baik oleh ekseget maupun oleh psikolog atau psikoanalis memberi manfaat khusus, terutama bila secara objektif berakar dan diperkuat oleh pengalaman pastoral.

Sejumlah contoh dapat disebutkan untuk menunjukkan pentingnya upaya bersama antara ekseget dan psikolog: untuk menegaskan makna ritus ibadah, kurban,larangan-Iarangan, untuk menerangkan penggunaan perumpamaan dalam bahasa alkitabiah, makna metaforis kisah-kisah mukjizat, atau asal-usul dari penglihatan apokaliptik dan pengalaman yang menyangkut pendengaran. Masalahnya bukan sekadar menjelaskan bahasa simbolis dalam Kitab Suci, tetapi menangkap bagaimana bahasa simbolis itu berfungsi sehubungan dengan pewahyuan dari suatu misteri serta masalah yang menantang-di mana realitas noumenon Allah berkontak dengan manusia.

Dialog antara eksegese dengan psikologi dan psiko-analisis, yang dimulai dengan suatu pandangan menuju pemahaman Alkitab dengan lebih baik, seharusnya dilaksanakan secara kritis, sambil tetap menghormati batas-batas setiap disiplin ilmu. Dalam situasi apa pun, psikologi atau psikoanalisis yang bersifat ateistik kehilangan kemungkinan untuk dapat menyumbangkan pertimbangan yang tepat pada data-data yang bersangkut paut dengan iman. Betapapun bermanfaatnya untuk menentukan secara lebih tepat jangkauan tanggung jawab manusia, psikologi dan psikoanalisis seharusnya tidak digunakan untuk menghilangkan realitas dosa dan keselamatan. Disamping itu, orang harus berhati-hati untuk tidak mencampuradukkan religiositas spontan dengan pewahyuan alkitabiah atau meragukan ciri historis pesanAlkitab, yang memberikan nilai karena peristiwa unik tersebut.

Di samping itu, perlu dicatat bahwa kita tidak dapat berbicara tentang "eksegese psikoanalisis" seolah-olah hanya ada satu bentuk saja. Kenyataannya, berangkat dari berbagai bidang psikologi dan dari berbagai aliran, ada sejumlah pendekatan yang mampu membantu menerangi penafsiran teologis atau manusiawi atas Alkitab. Memutlakkan salah satu dari pendekatan yang dianut oleh berbagai mazhab psikologi dan psikoanalisis tidak menghasilkan buah bagi usaha bersama dalam bidang ini, tetapi sebaliknya justru akan merugikan.

Ilmu-ilmu humaniora tidak hanya terbatas pada sosiologi, antropologi budaya, dan psikologi. DisipIin-disiplin ilmu lain dapat juga sangat berguna bagi penafsiran Alkitab. Dalam segala hal ini, perlulah menyadari kompetensi seseorang dalam bidang yang khusus dan mengakui bahwa sangat jarang ada orang yang sungguh-sungguh mempunyai kompetensi dalam bidang eksegese dan dalam salah satu, atau beberapa bidang, dari ilmu-ilmu humaniora. sumber

[Metode Historis-Kritis][Metode-Metode Baru Analisis Literer] [Pendekatan-Pendekatan yang Didasarkan pada Tradisi] [Pendekatan-Pendekatan yang Menggunakan Ilmu-Ilmu Manusia] [Pendekatan-Pendekatan Kontekstual] [Penafsiran Fundamentalis]

Diperkenankan untuk mengutip sebagian atau seluruhnya isi materi dengan mencantumkan sumber http://www.imankatolik.or.id/