H O M I L I
Mgr F.X Hadisumarta O.Carm
MINGGU BIASA XXX/A/2014
Kel 22:21-27 1 Tes 1:5c-10 Mat 22:34-40
PENGANTAR
Dalam Injil Matius hari ini Yesus menegaskan: “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri” (Mat 22:39). Yesus mengatakan itu dalam rangka menjawab pertanyaan kaum Farisi ini: “Guru, hukum manakah yang paling utama dalam hukum Taurat?” Dengan mengatakan kasihilah sesamamu manusia “seperti dirimu sendiri”, Yesus menempatkan suatu cermin di hadapan kita, di mana kita melihat diri kita sendiri. Di depan cermin kita tidak dapat menipu diri kita sendiri! Dengan demikian Yesus menunjukkan kepada kita suatu ukuran yang tidak pernah akan keliru, untuk menilai apakah kita ini sungguh mengasihi sesama kita atau tidak! Dalam keadaan apapun atau bagaimana pun kita semua ini tahu benar, apa artinya mengasihi diri sendiri, dan apa yang kita harapkan dari orang lain supaya dilakukan terhadap kita.
HOMILI
Patut kita perhatikan, Yesus tidak berkata: “Apa yang dilakukan orang kepadamu, lakukanlah itu kepadanya!” Jika demikan, itulah yang disebut “lex talionis” atau “hukum pembalasan”. Mata demi mata, gigi demi gigi! Tetapi yang dikatakan Yesus sangat berlainan: “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka” (Mat 7:12).
Ternyata Yesus menegaskan, bahwa kasih kepada sesama adalah perintah-Nya. Menurut keterangan-Nya itulah merupakan isi seluruh hukum (lih. Mat 7:12). Dan Yohanes dalam Injilnmya juga menegaskan, bahwa Yesus telah berkata: “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu” (Yoh 15:12). Memang pada dasarnya kristianitas atau menjadi orang kristiani sejati adalah melaksanakan perintah mengasihi sesama manusia.
Namun kita harus memahami pengertian tentang kasih atas sesama itu secara lebih mendalam lagi. Bukan hanya melihat apa yang tampak saja. Pada umumnya orang mengira bahwa mengasihi sesama ialah memberi derma, dan melakukan hal-hal yang harus dilakukan untuk sesama, misalnya member makan dan minum, mengunjungi dan sebagainya, pendek kata menolong sesama kita. Tetapi semua itu hanya supaya dilihat sebagai suatu bukti atau buah dari kasih, namun belum merupakan kasih yang sejati. Perbuatan baik adalah hasil atau buah dari kemurahan hati. Karena itu sebelum dapat berbuat baik, kita harus memiliki hati yang sungguh mau berbuat baik dahulu!
Kasih yang dimaksudkan Yesus dalam bahasa latin disebut caritas. Artinya kasih adalah bukan pura-pura, seperti yang dimaksudkan oleh Paulus “jangan pura-pura” , jangan “hipokrit” (lih.Rm 12:9). Atau juga seperti dimaksudkan oleh Petrus: “Kamu telah menyucikan dirimu oleh ketaatan kepada kebenaran, sehingga kamu dapat mengamalkan kasih persaudaraan yang tulus ikhlas, hendaklah kamu bersungguh-sungguh saling mengasihi dengan segenap hatimu” (1 Ptr 1:22). Memang siapapun dapat berbuat baik dan memberi derma, tetapi dengan aneka macam dorongan atau alasan, yang tidak selalu ada hubungannya dengan kasih. Dalam kenyataanya orang serupa itu sebenarnya mau menghiasi dirinya sendiri, agar dipandang orang sebagai penderma, lagipula memperoleh pandangan khusus dalam masyarakat, bahkan juga karena ia mau menenteramkan harinuraninya! Semuanya itu adalah ungkapan kasih pura-pura!
Menurut Paus Fransiskus di negara-negara maju dan makmur, hati nurani
masyarakat kristiani pun mengatakan, bahwa dana-dana dan bantuan-bantuan, yang diberikan kepada negara-negara, yang baru berkembang dan tertinggal bukan dilaksanakan atas perintah kasih, melainkan lebih didorong oleh perhitungan politik dan dengan hati nurani dan perhitungan yang buruk! Namun bukan hanya di dunia yang sudah maju dan makmur, di bagian dunia yang baru berkembang dan yang masih berkekurangan sendiri pun, keadaan buruk tentang kasih kepada sesama juga ada! Kita semua tanpa kekecualiaan perlu mawas diri!
Dalam mawas diri itu jangan sampai kita mencampuradukkan atau menyamakan dua hal yang sungguh berbeda, yaitu di antara memiliki kasih dengan hati murni, dan memang memberi derma tetapi hanya supaya tampak sebagai orang yang baik hati. Inilah yang dikatakan oleh Johannes dalam suratnya yang pertama: “Anak-anakku, marilah kita mengasihi bukan dengan perkataan atau dengan lidah, tetapi dengan perbuatan dan dalam kebenaran” (1 Yoh 3:18). Maksudnya ialah agar kita jangan sampai membuat perbuatan-perbuatan cintakasih kita yang tampak menjadi palsu, melainkan agar perbuatan-perbuatan kita itu sungguh merupakan ungkapan kasih dan kebaikan hati yang murni.
Kasih hati murni (caritas) ini sifatnya universal, berlaku untuk semua orang. Kasih atau caritas murni ini bukanlah suatu kasih, yang hanya dapat diberikan oleh orang kaya dan sehat, sedangkan orang miskin dan sakit hanya dapat menerimanya saja. Semua orang dapat memberi dan menerima. Berbuat kasih adalah sangat riil konkret. Setiap kali kita harus selalu melihat keadaan atau situasi di mana orang-orang lain dan kita sendiri berada dengan mata baru. Mata atau penglihatan baru itu apa? Tak lain tak bukan ialah mata atau penglihatan seperti yang dimiliki Allah dalam memandang kita (!), yakni mata Dia yang mengampuni, yang baik dan murah hati, yang memahami keadaan kita dan yang memberi pengampunan kepada kita.
Dengan demikian situasi dan hambatan hubungan kasih antara kita dan sesama akan berubah dan hilang. Pribadi sesama kita dapat kita kenal seperti keadaan kita sendiri: sebagai makhluk Allah yang lemah, miskin hatinya, menderita kelemahan dan keterbatasan, seperti setiap orang! Itulah kita! Dengan demikian topeng wajah yang kita miliki masing-masing akan hilang, dan kita dapat saling mengenal diri kita masing-masing seperti adanya.
Mgr. FX. Hadisumarta O.Carm
kumpulan Homili Mgr. FX. Hadisumarta O.Carm
buku Katekese terbaru dari Mgr. FX. Hadisumarta. O.Carm