PAULUS USKUP
HAMBA PARA HAMBA ALLAH
BERSAMA BAPA-BAPA KONSILI SUCI
DEMI KENANGAN ABADI
DEKRIT TENTANG
PELAYANAN DAN KEHIDUPAN PARA IMAM
PENDAHULUAN
1. Keluhuran TINGKAT PARA IMAM dalam Gereja
sudah seringkali oleh Konsili suci ini diingatkan kepada segenap umat beriman[].
Akan tetapi karena dalam pembaharuan Gereja Kristus kepada Tingkat itu
diserahkan peranan yang penting sekali dan semakin sulit, maka pada hemat kami
berguna sekali untuk secara lebih luas dan lebih mendalam berbicara tentang
para imam. Apa yang dikemukakan disini berlaku bagi semua imam, khususnya
mereka yang melayani reksa pastoral, tetapi – dengan penyesuaian-penyesuaian
yang diperlukan – juga bagi para imam religius. Sebab para imam, berkat
tahbisan dan perutusan yang mereka terima dari para Uskup, diangkat untuk
melayani Kristus Guru, Imam dan Raja. Mereka ikut menunaikan pelayanan-Nya,
yang bagi Gereja merupakan upaya untuk tiada hentinya dibangun dunia ini
menjadi umat Allah, Tubuh Kristus dan Kenisah Roh Kudus. Oleh karena itu,
supaya dalam situasi pastoral dan manusiawi sering sekali mengalami perubahan
begitu mendalam, pelayanan mereka tetap berlangsung secara lebih efektif, dan
kehidupan mereka lebih terpelihara, Konsili suci menyatakan dan memutuskan
hal-hal berikut.
BAB
SATU
IMAMAT DALAM PERUTUSAN GEREJA
2.
(Hakekat
imamat)
Tuhan Yesus, “yang oleh Bapa dikuduskan dan
diutus ke dunia” (Yoh 10:36), mengikut sertakan seluruh Tubuh mistik-Nya dalam
pengurapan Roh yang telah diterimanya sendiri[].
Sebab dalam Dia semua orang beriman menjadi Imamat kudus dan rajawi,
mempersembahkan korban-korban rohani kepada Allah melalui Yesus Kristus, dan
mewartakan kekuatan Dia, yang memanggil mereka dari kegelapan ke dalam
cahaya-Nya yang mengagumkan[].
Maka tidak ada anggota, yang tidak berperan serta dalam perutusan seluruh
Tubuh. Melainkan setiap anggota wajib menguduskan Yesus dalam hatinya[],
dan dengan semangat kenabian memberi kesaksian tentang Yesus[].
Tetapi,
supaya umat beriman makin berpadu menjadi satu Tubuh, - “di dalamnya tidak
semua anggota mempunyai tugas yang sama” (Rom 12:4), - Tuhan itu juga mengangkat
ditengah mereka beberapa anggota menjadi pelayan, yang dalam persekutuan umat
beriman mempunyai Kuasa Tahbisan suci untuk mempersembahkan Korban dan
mengampuni dosa-dosa[],
dan demi nama Kristus secara resmi menunaikan tugas imamat bagi orang-orang.
Maka dari itu, sesudah mengutus para Rasul seperti Ia sendiri telah diutus oleh
Bapa[],
Kristus, melalui para Rasul itu, mengikutsertakan para pengganti mereka, yakni
para Uskup, dalam pentakdisan serta perutusan-Nya[].
Tugas pelayanan Uskup, pada tingkat yang terbawah kepadanya, diserahkan kepada
para imam[],
supaya mereka, sesudah ditahbiskan imam, menjadi rekan-rekan kerja bagi Tingkat
para Uskup, untuk sebagaimana mestinya melaksanakan misi kerasulan yang mereka
terima dari Kristus[].
Karena
fungsi para imam tergabungkan pada Tingkat para Uskup, fungsi itu ikut
menyandang kewibawaan Kristus sendiri, untuk membangun, menguduskan dan
membimbing Tubuh-Nya. Oleh karena itu, imamat para imam biasa memang
mengandaikan Sakramen-sakramen inisiasi kristiani, tetapi secara khas
diterimakan melalui Sakramen, yang melambangkan, bahwa para imam, berkat
pengurapan Roh Kudus, ditandai dengan meterai istimewa, dan dengan demikian dijadikan
serupa dengan Kristus Sang Imam, sehingga mereka mampu bertindak dalam pribadi
Kristus Kepala[].
Karena
para imam dengan cara mereka sendiri ikut mengemban tugas para Rasul, mereka
dikurniai rahmat oleh Allah, untuk menjadi pelayan Kristus Yesus di tengah para
bangsa, dengan menunaikan tugas Injil yang suci, supaya persembahan para
bangsa, yang disucikan dalam Roh Kudus, berkenan kepada Allah[].
Sebab melalui Warta Rasuli tentang Injil Umat Allah dipanggil dan dihimpun,
sehingga semua orang yang termasuk umat itu karena dikuduskan dalam Roh,
mempersembahkan diri sebagai “persembahan yang hidup, kudus, dan berkenan
kepada Allah” (Rom 12:1). Melalui pelayanan para imam korban rohani kaum
beriman mencapai kepenuhannya dalam persatuan dengan korban Kristus Pengantara
tunggal, yang melalui tangan para imam, atas nama seluruh Gereja,
dipersembahkan secara tak berdarah dan sakramental dalam Ekaristi, sampai
kedatangan Tuhan sendiri[].
Itulah arah-tujuan pelayanan para imam; disitulah pelayanan itu mencapai
kepenuhannya. Sebab pelayanan mereka, yang berawalmula dari Warta Injil, menerima daya-kekuatannya dari
Korban Kristus, dan tujuannya ialah, supaya “seluruh kota yang telah ditebus,
yakni persekutuan dan himpunan para kudus, dipersembahkan sebagai korban
universal kepada Allah melalui Sang Imam Agung, yang dalam Kesengsaraan-Nya
telah mempersembahkan Diri-Nya juga bagi kita, supaya kita menjadi Tubuh Kepala
yang seagung itu”[].
Maka
tujuan yang mau dicapai oleh para imam melalui pelayanan maupun hidup mereka
yakni kemuliaan Allah Bapa dalam Kristus. Kemuliaan itu tercapai, bila
orang-orang secara sadar, bebas dan penuh syukur menerima karya Allah yang
terlaksana dalam Kristus, dan menampakkan itu melalui seluruh hidup mereka.
Maka bila para imam meluangkan waktu bagi doa dan sembah sujud, atau mewartakan
sabda atau mempersembahkan Korban Ekaristi dan menerimakan Sakramen-sakramen
lainnya, atau menjalankan pelayanan-pelayanan lain bagi sesama, mereka ikut
menambah kemuliaan Allah dan membantu sesama berkembang dalam kehidupan ilahi.
Itu semua bersumber pada Paska Kristus, dan akan mencapai kepenuhannya pada
kedatangan Tuhan penuh kemuliaan-Nya, bila Ia menyerahkan Kerajaan kepada Allah
dan Bapa[].
3.
(Situasi
para imam di sunia)
Para imam, yang dipilih dari antara manusia
dan ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, untuk
mempersembahkan persembahan dan korban bagi dosa-dosa[],
bergaul dengan orang-orang lain bagaikan dengan saudara-saudari mereka. Begitu
pulalah Tuhan Yesus, Putera Allah, manusia yang oleh Bapa diutus kepada sesama
manusia, tinggal di antara kita, dan dalam segalanya hendak menyerupai
saudara-saudari-Nya, kecuali dalam hal dosa[].
Para Rasul kudus sudah mengikuti teladan-Nya; dan bersaksilah Santo Paulus,
Guru para bangsa, yang “disendirikan untuk Injil Allah” (Rom 1:1), bahwa ia
telah menjadi segalanya bagi semua orang, untuk menyelamatkan semua orang[].
Karena panggilan dan tahbisan mereka
para imam Perjanjian Baru dalam arti tertentu disendirikan dalam
pengakuan umat Allah, tetapi bukan untuk dipisahkan dari umat atau dari sesama
manapun juga, melainkan supaya sepenuhnya ditakdiskan bagi karya, yakni tujuan,
mengapa Tuhan memanggil mereka[].
Mereka tidak akan mampu menjadi pelayan Kristus, seandainya mereka tidak menjadi
saksi dan pembagi kehidupan lain dari pada hidup di dunia ini. Tetapi mereka
juga tidak akan mampu melayani sesama, seandainya mereka tetap asing terhadap
kehidupan serta situasi sesama[].
Pelayanan mereka sendiri karena alasan khas meminta, supaya mereka jangan
menyesuaikan diri dengan dunia ini[];
tetapi sekaligus meminta juga, supaya di dunia ini mereka hidup di tengah
masyarakat, dan sebagai gembala-gembala yang baik mengenal domba-domba mereka,
dan berusaha mengajak domba-domba juga, yang tidak termasuk kawanan, supaya
merekapun mendengarkan suara Kristus, dan terjadilah satu kawanan dan satu
Gembala[].
Untuk dapat mencapai tujuan itu pentinglah peranan keutamaan-keutamaan, yang
dalam persekutuan antar manusia memang sudah selayaknya dihargai; misalnya
kebaikan hati, kejujuran, keteguhan hati dan ketabahan, semangat mengusahakan
keadilan, sopan santun dan lain-lain, yang dianjurkan oleh Rasul Paulus dengan
pesannya : “… Semua yang benar, semua yang mulia, semua yang adil, semua yang
suci, semua yang manis, semua yang sedap di dengar, semua yang disebut
kebajikan dan patut di puji, pikirkanlah semuanya itu” (Flp 4:8)[].
BAB DUA
PELAYANAN PARA IMAM
I.
FUNGSI PARA IMAM
4.
(Para
imam, pelayan Sabda Allah)
Umat Allah pertama-tama dihimpun oleh sabda
Allah yang hidup[],
yang karena itu juga sudah selayaknya diharapkan dari mulut para imam[].
Sebab karena tidak seorang pun dapat di selamatkan, kalau ia tidak beriman[],
para imam sebagai rekan-rekan kerja para Uskup, pertama-tama wajib mewartakan Injil
Allah kepada semua orang[].
Demikianlah, dengan melaksanakan perintah Tuhan: “Pergilah ke seluruh dunia,
wartakanlah Injil kepada segala makhluk” (Mrk 16:15)[],
mereka membentuk dan mengembangkan Umat Allah. Sebab oleh Sabda penyelamat iman
dibangkitkan dalam hati mereka yang tidak percaya, dan dipupuk dalam hati
mereka yang percaya. Dengan demikian mulai serta tumbuhlah persekutuan kaum
beriman, menurut amanat rasul: “Iman timbul dari pendengaran, dan pendengaran
oleh sabda Kristus” (Rom 10:17). Jadi para imam mempunyai kewajiban terhadap
semua orang, untuk menyampaikan kebenaran Injil kepada mereka[],
sehingga mereka bergembira dalam Tuhan. Entah para imam mempunyai cara hidup
yang baik di tengah bangsa-bangsa, dan mengajak mereka memuliakan Allah[],
atau dengan pewartaan yang terbuka menyiarkan misteri Kristus kepada kaum
beriman, atau memberikan katekese kristiani atau menguraikan ajaran Gereja,
atau mereka berusaha mengkaji masalah-masalah aktual dalam terang Kristus,
selalu merupakan tugas mereka: mengajar bukan kebijaksanaan mereka sendiri,
melainkan Sabda Allah, dan tiada jemunya mengundang semua orang untuk bertobat
dan menuju kesucian[].
Supaya pewartaan iman, yang dalam situasi dunia zaman sekarang tidak jarang
memang sukar sekali, secara lebih mengena menggerakkan hati para pendengar,
hendaknya jangan menguraikan sabda Allah secara umum dan abstrak saja,
melainkan dengan menerapkan kebenaran Injil yang kekal pada situasi hidup yang
konkrit.
Demikianlah
pewartaan sabda dilaksanakan dengan aneka cara, menanggapi pelbagai kebutuhan
para pendengar dan menurut karisma para pewarta. Di daerah-daerah atau dalam
kelompok-kelompok bukan kristen hendaknya orang-orang dengan pewartaan Injil
diantar kepada iman dan Sakramen-Sakramen keselamatan[].
Sedangkan dalam jemaat kristen sendiri, terutama bagi mereka yang agaknya
kurang mengimani apa yang sering mereka terima, diperlukan pewartaan sabda
untuk pelayanan Sakramen-Sakramen, sebab itu merupakan Sakramen-Sakramen iman,
yang timbul dari sabda dan dipupuk dengannya[].
Terutama bila berlaku Liturgi Sabda dalam perayaan Ekaristi, sebab disitu
berpadulah secara tak terpisah pewartaan wafat dan kebangkitan Tuhan, jawaban
umat yang mendengarkannya, dan persembahan sendiri, saat Kristus mengukuhkan
Perjanjian Baru dalam Darah-Nya, serta keikut-sertaan umat beriman dalam
persembahan itu, melalui kerinduan mereka dan penerimaan Sakramen[].
5.
(Para
imam, pelayan Sakramen-sakramen dan Ekaristi)
Allah, satu-satunya yang Kudus dan
menguduskan, berkenan mengikut-sertakan manusia sebagai rekan serta
pembantu-Nya, untuk dengan rendah hati melayani karya pengudusan. Maka para
imam, dengan pelayanan Uskup, ditakdiskan oleh Allah, supaya mereka secara
istimewa ikut menghayati Imamat Kristus, dan dalam merayakan Ekaristi bertindak
sebagai pelayan Dia, yang dalam Liturgi tiada hentinya melaksanakan tugas
Imamat-Nya melalui Roh-Nya demi keselamatan kita[].
Dengan Baptis para imam mengantar orang-orang masuk menjadi anggota umat Allah.
Dengan Sakramen Tobat mereka mendamaikan para pendosa dengan Allah dan dengan
Gereja. Dengan Minyak orang sakit mereka meringankan para penderita penyakit.
Terutama dengan merayakan Misa mereka mempersembahkan Korban Kristus secara
sakramental. Dalam melaksanakan semua Sakramen, - seperti pada zaman Gereja
purba telah dicanangkan oleh S. Ignatius Martir[],
- para imam dengan pelbagai cara tergabunglah secara hirarkis dengan Uskup, dan
dengan demikian menghadirkannya secara tertentu dalam masing-masing jemaat umat
beriman[].
Sakramen-sakramen
lainnya, begitu pula semua pelayanan gerejawi serta karya kerasulan,
berhubungan erat dengan Ekaristi suci dan terarahkan kepadanya[].
Sebab dalam Ekaristi suci tercakuplah seluruh kekayaan rohani Gereja[],
yakni Kristus sendiri, Paska kita dan Roti hidup, yang karena Daging-Nya yang
dihidupkan oleh Roh Kudus dan menjadi sumber kehidupan mengurniakan kehidupan
kepada manusia. Begitulah manusia diundang dan diantar untuk mempersembahkan
diri, jerih-payahnya dan segenap ciptaan bersama dengan-Nya. Oleh karena Injil,
sementara pada katekumin langkah demi langkah diantar untuk menyambut Ekaristi,
dan umat beriman, yang sudah ditandai dengan Baptis suci dan Penguatan, melalui
penyambutan sepenuhnya disaturagakan dalam Tubuh Kristus.
Jadi
perjamuan Ekaristi merupakan pusat jemaat beriman, yang dipimpin oleh imam.
Maka para imam mengajar umat untuk dalam Korban Ekaristi mempersembahkan Korban
ilahi kepada Allah Bapa, dan bersama dengan-Nya mengorbankan hidup mereka
sendiri. Dengan semangat Sang Gembala para imam mengajar mereka untuk dengan
hati remuk-redam, dalam Sakramen Tobat, menghadapkan dosa-dosa mereka kepada
Gereja, sehingga dari hari ke hari mereka semakin berbalik kepada Tuhan, sambil
mengingat amanat-Nya: “Bertobatlah, sebab sudah dekatlah Kerajaan Sorga” (Mat
4:17). Para imam mengajar umat untuk berperanserta dalam perayaan Liturgi suci sedemikian rupa, sehingga di situ pun
umat mencapai doa yang tulus. Para imam menutun mereka, untuk seumur hidup
menghayati semangat doa secara makin sempurna, sesuai dengan rahmat serta
kebutuhan mereka masing-masing, lagi pula mengajak semua untuk melaksanakan
tugas-kewajiban status hidup mereka, serta mengundang mereka yang sudah lebih
maju, untuk menghayati nasehat-nasehat Injil, masing-masing menurut caranya
sendiri. Selanjutnya para imam mengajar umat beriman, untuk sepenuh hati
bernyanyi bagi Tuhan dengan kidung-kidung serta lagu-lagu rohani, sambil
senantiasa mengucapkan syukur kepada Allah Bapa atas segala sesuatu demi nama
Tuhan kita Yesus Kristus[].
Para
imam sendiri meluas-ratakan puji-pujian serta ucapan syukur yang mereka
lambungkan dalam perayaan Ekaristi dengan mendoakan Ibadat Harian pada jam-jam
tertentu. Dengan ibadat itu mereka memanjatkan doa-doa kepada Allah atas nama
Gereja, bagi segenap jemaat yang dipercayakan kepada mereka, bahkan bagi
seluruh dunia.
Rumah
ibadat, tempat Ekaristi suci di rayakan dan di semayamkan, umat beriman
berkumpul, serta kehadiran Putera Allah Penyelamat kita, yang dikorbankan di
atas altar bagi kita, dihormati dengan sembah-sujud demi bantuan serta
penghiburan umat beriman, harus rapi teratur dan sungguh cocok untuk upacara-upacara
ibadat[].
Disitu para Gembala dan umat beriman diundang, untuk dengan hati penuh syukur
menanggapi anugerah Dia, yang melalui kemanusiaan-Nya tiada hentinya
mencurahkan kehidupan ilahi ke dalam anggota-anggota Tubuh-Nya[].
Hendaknya para imam berusaha mengembangkan dengan tepat pengetahuan dan
kesenian Liturgi, supaya berkat pelayanan liturgis mereka, oleh jemaat-jemaat
kristiani yang dipercayakan kepada mereka, dipersembahkan pujian yang semakin
sempurna kepada Allah, Bapa dan Putera dan Roh Kudus.
6.
(para
imam, pemimpin umat Allah)
Sementara para imam, sesuai dengan tingkat
partisipasi mereka dalam kewibawaan, menunaikan tugas Kristus sebagai Kepala
dan Gembala, mereka atas nama uskup menghimpun keluarga Allah sebagai rukun
persaudaraan yang sehati sejiwa, dan melalui Kristus mengantarnya dalam Roh
menghadap Allah Bapa[].
Untuk menjalankan pelayanan itu, seperti juga untuk tugas-tugas imam lainnya,
dikurniakan kuasa rohani, yang diberikan untuk membangun umat[]. Seturut teladan Tuhan, dalam membangun
Gereja para imam harus bergaul dengan semua orang penuh perikemanusiaan.
Janganlah mereka bertindak terhadap mereka mengikuti selera orang-orang[],
melainkan menurut tuntutan-tuntutan ajaran dan hidup kristen, dengan mengajar
serta memperingatkan mereka juga sebagai putera-puteri yang terkasih[],
menurut pesan Rasul: Siap-sedialah, entah baik atau tidak baik waktunya,
nyatakanlah apa yang salah, tegurlah dan nasehatilah dengan segala kesabaran
dan pengajaran” (2Tim 4:2)[].
Maka
termasuk tugas para imam sebagai pembina imanlah, mengusahakan entah secara
langsung atau melalui orang-orang lain, supaya mereka yang beriman
masing-masing dibimbing dalam Roh Kudus untuk menghayati panggilannya sendiri
menurut Injil, untuk secara aktif mengamalkan cinta kasih yang jujur, dan untuk
hidup dalam kebebasan yang dikurniakan oleh Kristus kepada kita[].
Hanya sedikit sajalah manfaat upacara-upacara betapa pun indahnya, atau
himpunan-himpunan betapa pun suburnya bila itu semua tidak diarahkan untuk
membina orang-orang menuju kedewasaan kristiani[].
Untuk memupuk kedewasaan itu mereka dibantu oleh para imam, supaya dalam
peristiwa-peristiwa besar maupun kecil mampu menangkap apakah yang
dituntut oleh situasi, dimanakah letak
kehendak Allah. Hendaknya umat kristen dibina juga, supaya jangan hanya hidup
untuk diri sendiri, melainkan – menanggapi tuntutan perintah baru tentang cinta
kasih – supaya mereka saling berbagi rahmat, sesuai dengan kasih kurnia yang
diterima oleh masing-masing[],
dan dengan demikian semua melaksanakan tugas-tugas mereka secara kristiani
dalam masyarakat.
Sungguh
pun para imam mempunyai kewajiban terhadap semua orang, hendaknya mereka secara
istimewa bertanggung jawab atas kaum miskin dan lemah. Sebab Tuhan sendiri
menunjukkan, betapa Ia menyatu dengan mereka[],
dan pewartaan Injil kepada mereka merupakan tanda karya Almasih[].
Hendaknya secara khas pula mereka perhatikan generasi muda, begitu juga para
suami-isteri dan orangtua; dihimbau agar mereka berkumpul dalam rukun-rukun
persaudaraan, untuk saling membantu, supaya dalam hidup yang sering penuh
kesukaran mereka lebih mudah lebih penuh bertindak secara kristiani. Hendaknya
para imam menyadari, bahwa semua religius pria maupun wanita merupakan bagian
yang istimewa di rumah Tuhan, dan karena itu layak mendapat pelayanan yang khas
demi kemajuan rohani mereka, demi kesejahteraan seluruh Gereja. Akhirnya
hendaknya mereka penuh keprihatinan terhadap mereka yang sakit dan menjelang
ajalnya, mengunjungi mereka, dan meneguhkan mereka dalam Tuhan[].
Tugas
Gembala tidak terbatas pada reksa pastoral terhadap kaum beriman secara
perorangan, melainkan sudah sewajarnya diperluas pula untuk membina jemaat
kristen yang sejati. Adapun untuk sebagaimana mestinya memupuk semangat
menjemaat, semangat itu jangan hanya mencakup Gereja setempat, melainkan harus
pula ,eliputi Gereja semesta. Jemaat setempat hanya mengembangkan reksa
pastoral umat berimannya sendiri, melainkan digerakkan oleh semangat misioner
wajib pula merintis jalan menuju Kristus bagi semua orang. Tetapi jemaat
hendaknya secara khas merasa bertanggung jawab atas para katekumen dan baptisan
baru, yang langkah demi langkah harus dibina untuk makin mengenal dan
menghayati hidup kristen.
Tiada
jemaat kristen dibangun tanpa berakar dan berporos pada perayaan Ekaristi suci.
Maka disitulah harus dimulai segala pembinaan semangat menjemaat[].
Supaya perayaan itu sungguh tulus dan mencapai kepenuhannya, harus mendorong
umat ke arah pelbagai karya cinta kasih, usaha saling membantu, kebiatan
misioner, dan aneka bentuk kesaksian kristiani. Selain itu, melalui cinta
kasih, doa, teladan dan ulah pertobatan, jemaat gerejawi menunjukkan keibuannya
yang sejati dengan mengantar jiwa-jiwa kepada Kristus. Sebab jemaat merupakan
upaya yang efektif, untuk memperlihatkan kepada mereka yang belum beriman atau
merintiskan bagi mereka jalan menuju Kristus serta Gereja-Nya, dan untuk
membangkitan semangat kaum beriman, memelihara kehidupan mereka, dan meneguhkan
mereka bagi perjuangan rohani.
Dalam
membangun jemaat kristen para imam tidak pernah bekerja demi suatu ideologi
atau bagi suatu partai; melainkan mereka berkarya sebagai pewarta Injil dan
gembala Gereja, untuk mendukung pertumbuhan rohani Tubuh Kristus.
II.
HUBUNGAN PARA IMAM DENGAN SESAMA
7.
(Hubungan
para Uskup dan para imam)
Semua imam bersama para Uskup berperanserta
menghayati satu imamat dan satu pelayanan Kristus sedemikian rupa, sehingga
kesatuan pentakdisan dan perutusan itu sendiri menuntut persekutuan hirarkis
mereka dengan Dewan para Uskup[].
Persekutuan itu kadang-kadang dengan
jelas sekali mereka tampilkan dalam konselebrasi Liturgi; di situ sekaligus
mereka ungkapkan, bahwa mereka merayakan Perjamuan Ekaristi dalam persatuan
dengan para Uskup[].
Maka para Uskup, berdasarkan kurnia Roh Kudus yang dalam Tahbisan suci dianugerahkan
kepada para imam, memandang mereka sebagai pembantu dan penasehat yang sungguh
dibutuhkan dalam pelayanan dan tugas mengajar, menguduskan dan menggembalakan
umat Allah[].
Sudah sejak zaman kuno itu di maklumkan oleh dokumen-dokumen liturgi Gereja,
yakni bila secara resmi Allah dimohon untuk mencurahkan atas diri imam yang
ditahbiskan “roh rahmat dan nasehat, supaya ia membantu dan membimbing umat
dengan hati yang bersih”[],
seperti dulu di padang gurun roh Musa telah disalurkan ke dalam hati tujuh
puluh pria yang bijaksana[],
“yang dipekerjakan oleh Musa sebagai pembantunya, sehingga ia dengan mudah
memimpin umat yang tak terbilang jumlahnya”[].
Maka karena persekutuan dalam satu imamat
dan satu pelayanan itu, hendaknya para Uskup memandang para imam sebagai
saudara dan sahabat mereka[],
serta sedapat mungkin memperhatikan kesejahteraan mereka baik jasmani maupun
terutama rohani. Sebab terutama merekalah yang menanggung beban tanggung jawab
yang cukup berat atas kesucian para imam mereka[].
Maka hendaknya mereka usahakan sedapat mungkin pembinaan terus-menerus para
imam[].
Hendaknya para Uskup dengan senang hati mendengarkan para imam, bahkan meminta
nasehat mereka, dan merundingkan dengan mereka hal-hal, yang menyangkut
kebutuhan-kebutuhan karya pastoral dan kesejahteraan keuskupan. Agar supaya itu
sungguh dilaksanakan, hendaknya dengan cara yang sesuai dengan situasi dan kebutuhan-kebutuhan zaman
sekarang[],
menutut bentuk dan norma-norma yang ditetapkan oleh hukum, dibentuk dewan atau
senat para imam[],
yang mewakili semua imam, untuk dengan nasehat-nasehatnya membantu Uskup secara
efektif dalam memimpin keuskupannya.
Adapun
para imam hendaknya memandang kepenuhan Sakramen Imamat yang ada pada para
Uskup, dan dalam diri mereka menghormati kewibawaan Kristus Gembala Tertinggi.
Hendaknya mereka berpaut pada Uskup mereka dengan cinta kasih yang tulus dan
sikap patuh-taat[].
Kepatuhan para imam itu, yang diresapi semangat kerja sama, berdasarkan
partisipasi mereka dalam pelayanan Uskup, yang diberikan kepada para imam
melalui Sakramen Tahbisan dan perutusan kanonik[].
Zaman
kita sekarang persatuan para imam dengan para Uskup semakin dibutuhkan. Sebab
sekarang ini, karena pelbagai faktor, usaha-usaha kerasulan tidak hanya perlu
mengenakan bermacam-macam bentuk, tetapi juga melampaui batas-batas satu paroki
atau keuskupan. Maka tidak seorang imam pun mampu menunaikan tugas perutusannya
secara memadai, bila ia bertindak secara tersendiri dan sebagai perorangan.
Imam hanya mampu melaksanakan misinya, bila ia berpadu tenaga dengan para imam
lainnya, di bawah bimbingan mereka, yang memimpin Gereja.
8.
(Persatuan
persaudaraan dan kerja sama antara para imam)
Berkat Tahbisan, yang menempatkan mereka
pada Tingkat imamat biasa, semua imam bersatu dalam persaudaraan sakramental
yang erat sekali. Khususnya dalam keuskupan, yang mereka layani di bawah
uskupnya sendiri, mereka merupakan satu presbiterium. Sebab walaupun
para imam menjalankan bermacam-macam tugas, mereka hanya mengemban satu imamat
demi pengabdian kepada sesama. Sebab semua imam diutus untuk bekerja sama demi
hanya satu karya, entah mereka melayani atau menjalankan pelayanan yang
melampaui batas-batas paroki, atau mencurahkan tenaga untuk penelitian ilmiah
atau untuk menyalurkan ilmu, atau juga menjalankan pekerjaan tangan sambil ikut
mengalami nasib para pekerja, bila atas persetujuan Kuasa gerejawi yang berwenang
itu dipandang berguna, atau akhirnya menjalankan karya-karya kerasulan lainnya
atau kegiatan-kegiatan yang mendukung kerasulan. Semua imam bekerja sama hanya
demi satu tujuan, yakni pembangunan Tubuh Kristus, yang khususnya pada zaman
sekarang meliputi bermacam-macam tugas
serta meminta penyesuaian-penyesuaian
baru. Oleh karena itu pentinglah bahwa semua imam, baik diosesan maupun
religius, saling membantu, supaya mereka selalu mengerjakan karya bersama demi
kebenaran[].
Jadi setiap imam berhubungan dengan para anggota presbiterium lainnya
karena ikatan-ikatan khas cinta kasih rasuli, pelayanan dan persaudaraan. Sudah
sejak kuno itu dilambangkan dalam Liturgi, bila imam-imam yang hadir diundang
untuk bersama dengan Uskup pentahbis menumpangkan tangan atas calon tahbisan,
dan bila mereka bersama, sehati sejiwa, mempersembahkan Ekaristi suci. Maka
masing-masing imam dipersatukan dengan rekan-rekannya seimamat karena ikatan
cinta kasih, doa dan aneka macam kerja sama; dan demikian tampillah kesatuan,
yang seturut kehendak Kristus dengan sempurna menghimpun para murid-Nya, supaya
dunia mengetahui Putera diutus oleh Bapa[].
Maka
dari itu hendaknya para imam yang sudah lebih lanjut usia sungguh menerima
mereka yang lebih muda sebagai saudara, serta memberi bantuan dalam
karya-kegiatan dan kesulitan-kesulitan di masa awal pelayanan mereka, begitu
pula mencoba memahami cara berfikir mereka meskipun itu berlainan dengan visi
mereka sendiri, serta penuh simpati mengikuti kegiatan-kegiatan yang mereka
prakarsai. Begitu pula imam-imam muda hendaknya menghormati usia serta
pengalaman para imam yang lebih tua, meminta nasehat mereka tentang hal-hal
yang menyangkut reksa pastoral, dan dengan senang hati bekerja sama dengan
mereka.
Hendaknya
para imam, dijiwai semangat persaudaraan, jangan melalaikan keramahan menjamu[],
memupuk kemurahan hati dan berbagi harta-milik mereka[],
pun terutama menunjukkan sikap prihatin terhadap mereka yang sakit, tertimpa
kesedihan, tertekan oleh beban kerja yang terlampau berat, merasa kesepian,
merantau jauh dari tanah air, dan mengalami penganiayaan[].
Hendaknya mereka dengan senang hati dan gembira berkumpul juga untuk
menyegarkan jiwa, seraya mengenangkan sabda undangan Tuhan sendiri kepada Rasul yang sudah lelah: “Marilah ke
tempat yang sunyi, supaya kita sendirian, dan beristirahatlah sejenak!” (Mrk
6:31). Kecuali itu, supaya para imam dapat saling membantu mengembangkan hidup
rohani dan intelektual, supaya mereka mampu bekerja sama semakin baik dalam
pelayanan, serta terhindarkan dari bahaya-bahaya kesepian yang barangkali
muncul, hendaknya dikembangkan kehidupan bersama atau rukun hidup antara
mereka. Kebersamaan hidup itu dapat mempunyai berbagai bentuk, menurut
beranekanya kebutuhan-kebutuhan pribadi maupun pastoral; misalnya: bersama-sama
tinggal serumah bila itu mungkin, atau makan bersama, atau setidak-tidaknya
seringkali atau secara berkala mengadakan pertemuan. Hendaknya sungguh dihargai
dan dikembangkan dengan tekun pula perserikatan-perserikatan, dikukuhkan dengan
anggaran dasar atas persetujuan Kuasa gerejawi yang berwenang, dengan maksud
mendorong para imam menuju kesucian melalui praktek pelayanan mereka, dan
dengan demikian melayani seluruh jajaran para imam, melalui tata hidup yang
sesuai dan disetujui bersama maupun bantuan timbal balik secara persaudaraan.
Akhirnya,
berdasarkan persekutuan dalam imamat, hendaknya para imam menyadari, bahwa
mereka mempunyai kewajiban-kewajiban istimewa terhadap mereka yang sedang
mengalami kesukaran-kesukaran. Hendaknya mereka itu di tolong pada waktunya,
bila perlu juga melalui peringatan yang bijaksana. Mereka yang jatuh dalam
kesalahan-kesalahan tertentu hendaknya selalu ditampung dengan cinta kasih
persaudaraan dan kebesaran jiwa. Para imam hendaknya secara intensif
memanjatkan doa kepada Allah bagi mereka itu, serta selalu menghadapi mereka
sebagai saudara dan sahabat.
9.
(Hubungan
para imam dengan kaum awam)
Karena Sakramen Tahbisan para imam
Perjanjian Baru menunaikan tugas sebagai bapa dan guru, yang amat luhur dan
penting sekali dalam dan bagi umat Allah. Akan tetapi bersama sekalian orang
beriman mereka sekaligus menjadi murid-murid Tuhan, yang berkat rahmat
panggilan Allah diikutsertakan dalam kerajaan-Nya[].
Sebab bersama siapa saja yang telah lahir kembali karena Baptis, para imam
menjadi sesama saudara[],
sebagai anggota satu Tubuh Kristus yang
sama, yang pembangunannya diserahkan
kepada semua anggota[].
Oleh
karena itu para imam harus memimpin umat sedemikian rupa, sehingga mereka tidak
mencari kepentingan sendiri, melainkan kepentingan Yesus Kristus[],
bekerja sama dengan umat beriman awam, dan ditengah mereka membawakan diri
menurut teladan Sang Guru, yang diantara sesama “tidak datang untuk dilayani,
melainkan untuk melayani, dan menyerahkan nyawa-Nya demi penebusan banyak
orang” (Mat 20:28). Hendaknya para imam dengan tulus mengakui dan mendukung
martabat kaum awam beserta bagian perutusan Gereja yang diperuntukkan bagi
mereka. Hendaknya para imam sungguh-sungguh menghormati pula kebebasan
sewajarnya, yang menjadi hak semua orang di dunia ini. Hendaknya mereka dengan
senang hati mendengarkan kaum awam, secara persaudaraan mempertimbangkan
keinginan-keinginan mereka, dan mengakui nilai pengalaman maupun kecakapan
mereka di pelbagai bidang kegiatan manusia, supaya mereka mampu mengenali
tanda-tanda zaman. Sementara menguji roh-roh apakah memang berasal dari Allah[],
hendaknya imam-imam dalam cita-rasa iman menemukan sekian banyak karisma kaum
awam, yang bersifat lebih sederhana maupun yang lebih tinggi, mengakuinya dengan
gembira, serta dengan seksama mendukung pengembangannya. Diantara
anugerah-anugerah Allah alinnya, yang terdapat melimpah dikalangan umat
beriman, layak dipelihara secara khas kurnia-kurnia, yang menyebabkan tidak
sedikit diantara mereka merasa tertarik ke arah hidup rohani yang lebih
mendalam. Begitu pula hendaknya para imam penuh kepercayaan menyerahkan kepada
kaum awam tugas-tugas pengabdian kepada
Gereja, sambil memberi mereka kebebasan serta ruang gerak, bahkan mengundang
mereka juga, untuk atas kerelaan sendiri memanfaatkan peluang yang baik dengan
memulai kegiatan-kegiatan[].
Selanjutnya
para imam ditempatkan di tengah kaum awam, untuk mengantarkan semua kepada
kesatuan cinta kasih, “sambil saling mengasihi sebagai saudara, dan saling
mendahului dalam memberi hormat” (Rom 12:10). Jadi termasuk tugas merekalah
memperpadukan berbagai mentalitas sedemikian rupa, sehingga dalam jemaat
beriman tidak seorang pun merasa diri terasing. Para imam menjadi pembela
kesejahteraan umum, yang atas nama Uskup harus mereka usahakan, pun serta merta
pendukung kebenaran yang gigih, supaya umat beriman jangan diombang-ambingkan
oleh bermacam-macam angin pengajar[].
Kepada keprihatinan mereka yang istimewa dipercayakan pula mereka, yang telah
meninggalkan penerimaan Sakramen-sakramen, bahkan barangkali iman mereka juga.
Hendaknya selaku gembala yang baik para imam jangan lupa mengunjungi mereka.
Seraya mengindahkan peraturan-peraturan tentang ekumenisme[],
hendaknya para imam jangan melupakan saudara-saudari, yang belum berada dalam
persekutuan gerejawi sepenuhnya dengan kita.
Akhirnya,
hendaknya para imam menyadari tanggung jawab mereka pula atas mereka semua,
yang tidak mengenal Kristus sebagai Penyelamat mereka.
Adapun
umat beriman hendaknya menyadari, bahwa mereka mempunyai kewajiban-kewajiban
terhadap para imam mereka, dan karena itu penuh kasih menghadapi mereka sebagai
gembala-gembala serta bapa-bapanya. Begitu pula, sementara ikut merasakan
keprihatinan para imam, hendaknya umat sedapat mungkin membantu mereka dengan
doa maupun kegiatan, supaya mereka mampu mengatasi kesukaran-kesukaran mereka
dengan lebih lancar, dan lebih berhasil juga dalam menjalankan tugas-tugas
mereka[].
III. PENYEBARAN PARA IMAM DAN
PANGGILAN-PANGGILAN IMAM
10.
(Penyebaran
para imam)
Kurnia rohani, yang oleh para imam telah
diterima pada pentahbisan mereka, tidak menyiapkan mereka untuk suatu perutusan
yang terbatas dan dipersempit, melainkan untuk misi keselamatan yang luas
sekali dan universal “sampai ke ujung bumi” (Kis 1:8). Sebab pelayanan imam
manapun juga ikut memiliki jangkauan
luas dan universal perutusan, yang oleh Kristus dipercayakan kepada para
Rasul. Sebab Imamat Kristus, yang sungguh-sungguh ikut dihayati oleh para imam,
tidak dapat lain kecuali ditujukan
kepada semua bangsa di segala zaman, dan tak mungkin dipersempit oleh
batas-batas suku, bangsa atau kurun waktu, seperti secara gaib dipralambangkan
dalam pribadi Melkisedekh[].
Maka hendaknya para imam menyadari, bahwa mereka wajib mengindahkan
keprihatinan semua jemaat. Oleh karena itu para imam keuskupan-keuskupan, yang
lebih kaya panggilan, hendaknya dengan sukarela menyediakan diri, seijin atau
atas anjuran Ordinaris mereka, untuk melaksanakan pelayanan mereka di
kawasan-kawasan, daerah-daerah misi, atau dalam karya-karya, yang serba
kekurangan imam.
Selain
itu hendaknya norma-norma tentang inkardinasi dan ekskardinasi ditinjau kembali
sedemikan rupa, sehingga unsur kelembagaan yang sudah kuno itu, kendati tetap
lestari, toh lebih kena menanggapi kebutuhan-kebutuhan pastoral zaman sekarang.
Tetapi di mana pun kondisi kerasulan membutuhkannya, hendaknya dipermudah saja
bukan hanya penyebaran para imam untuk sungguh menanggapi situasi, melainkan
juga karya-karya pastoral yang khas untuk bermacam-macam kelompok sosial, yang
perlu dilaksanakan di kawasan atau negara tertentu, atau di daerah manapun
juga. Dapat berguna pula mendirikan beberapa seminari internasional,
diosis-diosis atau prelatura-prelatura personal yang khusus, atau
lembaga-lembaga semacam itu. Dengan cara-cara yang perlu ditetapkan bagi
masing-masing usaha, dan tanpa pernah mengurangi hak-hak para ordinaris
setempat, imam-imam dapat bergabung atau diinkardinasi pada lembaga-lembaga itu
demi kesejahteraan Gereja semesta.
Akan
tetapi, ke daerah baru, terutama bila bahasa maupun adat istiadatnya belum
dikenal dengan baik, hendaknya para imam sedapat mungkin dapat di utus seorang
demi seorang, melainkan seturut teladan para murid Kristus[],
sekurang-kurangnya berdua atau bertiga, supaya dengan demikian mereka saling
membantu. Begitu pula cukup pentinglah bahwa hidup rohani mereka
sungguh-sungguh dipelihara, pun juga kesehatan jiwa raga mereka. Selain itu,
sejauh mungkin hendaknya bagi mereka masing-masing. Penting sekali jugalah,
bahwa mereka yang melawat ke bangsa yang baru, berusaha mengenal dengan baik
bukan saja bahasa daerah itu, melainkan juga sifat perangai psikologis maupun
sosial yang khas bagi bangsa itu. Kalau memang mereka bermaksud melayaninya
dengan kerendahan hati, mereka harus dapat berkomunikasi sesempurna mungkin
dengannya, menganut teladan rasul Paulus yang menyatakan tentang dirinya:
“Sungguh pun aku bebas terhadap semua orang, aku menjadikan diriku hamba bagi
semua orang, supaya aku boleh memperoleh mereka sebanyak mungkin. Demikianlah
bagi orang Yahudi aku menjadi seperti orang Yahudi, supaya aku memperoleh
orang-orang Yahudi …” (1Kor 9:19-20).
11.
(Usaha
para imam untuk mendapat penggilan-panggilan imam)
Sang Gembala dan Pemelihara jiwa-jiwa[]
sedemikian rupa mendirikan Gereja-Nya, sehingga umat yang telah di pilih dan
diperoleh-Nya dengan Darah-Nya[]
senantiasa dan hingga akhir zaman harus memiliki imam-imamnya, supaya jangan
pernahlah umat kristen bagaikan domba tanpa gembala[].
Memahami kehendak Kristus itu, para Rasul, atas dorongan Roh Kudus, memandang
sebagai kewajiban mereka memilih pelayan-pelayan, “yang akan cakap juga untuk
mengajar orang-orang lain” (2Tim 2:2). Kewajiban itu pasti termasuk perutusan
imamat juga. Karena misi itu lah pula imam ikut serta merasakan keprihatinan
Gereja semesta, supaya jangan pernah umat Allah di dunia kekurangan
pekerja-pekerja. Akan tetapi, karena “pengemudi kapal dan para penumpangnya …
mempunyai kepentingan bersama”[],
maka hendaknya segenap umat kristen diajak memahami kewajibannya untuk dengan
aneka cara menyumbangkan usahanya, dengan berdoa terus-menerus, begitu pula
melalui upaya-upaya lain yang tersedia bagi mereka[],
supaya Gereja selalu mempunyai imam-imam, yang sungguh diperlukan untuk
menjalankan misinya yang ilahi. Pertama-tama hendaknya para imam memperhatikan
sepenuhnya, supaya melalui pelayanan sabda maupun kesaksian hidup mereka
sendiri, yang jelas menampilkan semangat pengabdian dan kegembiraan Paska yang
sejati, mereka mengajak umat beriman menyadari keluhuran serta mutlak perlunya
imamat. Dan bila ada pemuda-pemuda atau mereka yang sudah lebih dewasa, yang –
menurut penilaian para imam yang cermat-bijaksana – memang cakap untuk
pelayanan seagung itu, hendaknya mereka, - tanpa menghemat usaha atau
memperhitungkan jerih-payah – membantu para pemuda itu, supaya menyiapkan diri
dengan baik, dan kemudian suatu ketika , tanpa mengurangi kebebasan mereka
sepenuhnya lahir maupun batin, dapat dipanggil oleh para Uskup. Guna mencapai
tujuan itu bermanfaat sekalilah bimbingan rohani yang tekun dan bijaksana. Para
orangtua dan guru-guru, serta siapa saja yang dengan suatu cara atai lain
berkecimpung dalam pendidikan anak-anak dan kaum muda, hendaknya mendidik
mereka sedemikian rupa, sehingga mereka memahami keprihatinan Tuhan terhadap
kawanan-Nya, memikirkan kebutuhan-kebutuhan Gereja, dan siap sedia untuk dengan
kebesaran jiwa menjawab Tuhan yang memanggil mereka, bersama nabi: “Lihatlah
aku, utuslah aku” (Yes 6:8). Akan tetapi jangan sekali-kali diharapkan,
seolah-olah sabda panggilan Tuhan itu menyapa hati si calon imam dengan cara
yang luar biasa. Sebab sabda itu harus ditangkap serta dipertimbangkan
berdasarkan isyarat-isyarat, yang setiap hari memperkenalkan kehendak Allah
kepada orang-orang kristen bijaksana. Dan tanda-tanda itu hendaknya dipertimbangkan
dengan saksama oleh para imam[].
Oleh
karena itu kepada mereka sangat dianjurkan Karya-karya panggilan, pada tingkat
keuskupan maupun pada tingkat nasional[].
Dalam kotbah-kotbah, dalam katekese, melalui majalah-majalah, perlu diuraikan
dengan jelas kebutuhan-kebutuhan Gereja setempat maupun Gereja semesta. Arti
maupun keluhuran pelayanan imam hendaknya dipaparkan sejelas-jelasnya. Sebab
dalam pelayanan itulah beban-beban yang amat berat berpadu dengan kegembiraan
yang meluap; dan dalam pelayanan itu – menurut ajaran Bapa Gereja – terutama
dapat diberikan kepada Kristus kesaksian cinta kasih yang sungguh agung[].
BAB TIGA
KEHIDUPAN PARA IMAM
I. PANGGILAN PARA IMAM UNTUK KESEMPURNAAN
12.
(Panggilan
para imam untuk kesucian)
Karena Sakramen Tahbisan para imam dijadikan
secitra dengan Kristus Sang Imam, sebagai pelayan Sang Kepala, untuk membentuk
dan membangun seluruh Tubuh-Nya, yakni Gereja, sebagai rekan-rekan kerja
Tingkat para Uskup. Sudah pada pentakdisan Babtis mereka, seperti semua orang
beriman, menerima tanda serta kurnia panggilan dan rahmat seagung itu, sehingga
ditengah kelemahan manusiawi pun[],
mereka mampu dan harus menuju kesempurnaan, menurut amanat Tuhan: “Hendaknya
kalian menjadi sempurna, seperti Bapamu di sorga adalah sempurna” (Mat 5:48).
Para imam wajib mencapai kesempurnaan itu berdasarkan alasan yang khas, yakni:
karena dengan menerima Tahbisan mereka secara baru ditakdiskan kepada Allah.
Mereka menjadi sarana yang hidup bagi kristus Sang Imam Abadi, untuk dapat melangsungkan
di sepanjang masa karya-Nya yang mengagumkan, yang dengan kekuatan adikodrati
telah mengembalikan keutuhan segenap umat manusia[].
Maka karena setiap imam dengan caranya sendiri membawakan pribadi Kristus
sendiri, maka ia diperkaya juga dengan rahmat istimewa, agar supaya dengan
melayani jemaat yang diserahkan kepadanya serta segenap umat Allah, ia lebih
mampu menuju kesempurnaan Dia, yang peranan-Nya dihadirkan olehnya, dan supaya
kelemahan manusia daging disembuhkan oleh kesucian Dia, yang bagi kita telah
menjadi Imam Agung, “kudus, tidak mengenal dosa, tanpa noda, terpisahkan dari
kaum pendosa” (Ibr 7:26).
Kristus,
yang oleh Bapa telah disucikan atau ditakdiskan dan diutus ke dunia[],
“telah menyerahkan Diri bagi kita, untuk menebus kita dari segala kejahatan,
dan untuk menguduskan bagi Dirinya suatu umat milik-Nya sendiri, yang rajin
berbuat baik” Itit 2:14); demikianlah melalui kesengsaraan-Nya Kristus telah
memasuki kemuliaan-Nya[].
Begitu pula para imam, yang ditakdiskan dengan pengurapan Roh Kudus dan diutus
oleh Kristus, mematikan dalam diri mereka perbuatan daging, dan membaktikan
diri seutuhnya dalam pengabdian kepada sesama, dan dengan demikian mampu
melangkah maju dalam kesucian, yang telah mereka terima dalam Kristus, menuju
kedewasaan penuh[].
Oleh
karena itu, sambil menunaikan pelayanan Roh dan keadilan, para imam, asal
membiarkan diri dibimbing oleh Roh Kristus yang menghidupkan dan menuntun
mereka, makin diteguhkan dalam kehidupan roh.
Sebab melalui kegiatan Liturgi setiap hari, begitu pula melalui seluruh
pelayanan mereka, yang mereka jalankan dalam persekutuan dengan Uskup maupun
rekan-rekan imam, mereka sendiri menuju kesempurnaan hidup. Kekudusan para imam
besar sekali artinya untuk dengan subur menjalankan pelayanan mereka. Sebab,
sungguh pun rahmat Allah juga melalui pelayan-pelayan yang tak pantas mampu
melaksanakan karya keselamatan, tetapi lazimnya Allah memilih menampilkan
karya-karya agung-Nya melalui mereka, yang lebih terbuka bagi dorongan dan
bimbingan Roh Kudus, dan karena persatuan mereka yang mesra dengan kristus
serta kekudusan perihidup, bersama Rasul dapat menyatakan: “Aku hidup, bukan
lagi aku, melainkan Kristuslah yang hidup dalam diriku” (Gal 2:20).
Oleh
karena itu, untuk mencapai tujuan-tujuan pastoralnya, yakni pembaharuan Gereja
ke dalam, penyebaran Injil ke seluruh dunia, lagi pula dialog dengan dunia
zaman sekarang, Konsili ini sungguh-sungguh mengajak semua imam: hendaknya
mereka dengan memanfaatkan upaya-upaya yang cocok seperti telah dianjurkan oleh
gereja[],
selalu berusaha menuju kekudusan yang semakin luhur, sehingga dari hari ke
hari mereka menjadi sarana yang makin
sesuai dalam pengabdian kepada segenap umat Allah.
13. (Pelaksanaan
ketiga fungsi imamat menuntut dan sekaligus mendukung kesucian)
Pada hakekatnya
para imam akan mencapai kesucian dan menunaikan tugas-tugas mereka dalam Roh
Kristus, secara tulus dan tanpa mengenal lelah.
Sebab karena mereka itu pelayan sabda
Allah, maka setiap hari mereka membaca dan mendengarkan sabda Allah, yang wajib
mereka sampaikan pada sesama. Bila mereka sekaligus berusaha meresapkannya
dalam hati, mereka akan menjadi murid-murid Tuhan yang kian sempurna, seturut
pesan Rasul Paulus kepada Timoteus: “Renungkanlah semuanya itu, hiduplah di
dalamnya, supaya kemajuanmu nyata bagi semua orang. Awasilah dirimu sendiri dan
ajaranmu; bertekunlah dalam semuanya itu. Sebab dengan berbuat demikian engkau
akan menyelamatkan dirimu dan mereka yang mendengar engkau” (1Tim 4:15-16).
Karena seraya mencari bagaimana dapat menyalurkan lebih baik kepada sesama apa
yang telah mereka renungkan[],
maka akan secara lebih mendalam menikmati “kekayaan kristus yang tidak
terselami” (Ef 3:8) dan pelbagai ragam hikmat Allah[].
Sementara tetap menyadari, bahwa Tuhanlah yang membuka hati orang-orang[],
dan keluhuran sabda tidak berasal dari mereka sendiri, melainkan dari kekuatan
Allah[],
dalam kegiatan menyalurkan sabda sendiri mereka akan lebih erat bersatu dengan
Kristus Sang Guru dan dibimbing oleh Roh-Nya. Bila demikian mereka bergaul
dengan Kristus, mereka ikut serta mengalami cinta kasih Allah, yang misteri-Nya
yang tersembunyi sejak kekal[]
telah diwahyukan dalam Kristus.
Sebagai pelayan Liturgi, terutama dalam
korban Ekaristi, para imam secara khas membawakan Pribadi Kristus, yang telah
menyerahkan diri sebagai korban demi pengudusan manusia. Itulah sebabnya,
mengapa mereka di undang, untuk ikut ikut menghayati apa yang mereka
laksanakan: sementara merayakan misteri wafat Tuhan, hendaknya mereka berusaha
mematikan anggota-anggota tubuh mereka dari cacat-cela dan nafsu-nafsu[].
Dalam misteri korban Ekaristi, saat para imam melaksanakan tugas utama mereka,
karya penebusan kita terus-menerus diwujudkan[].
Maka dari itu sangat dianjurkan, supaya Ekaristi dirayakan setiap hari, yang meskipun
tidak dihadiri oleh umat beriman, tetapi tetap merupakan tindakan Kristus dan
Gereja[].
Begitulah, sementara para imam menggabungkan diri dengan tindakan Kristus Sang
Imam, mereka setiap hari mempersembahkan diri seutuhnya kepada Allah, dan
seraya menyambut Tubuh Kristus, mereka dengan ketulusan hati ikut mengalami
cinta kasih Dia, yang mengurniakan Diri sebagai santapan kepada umat beriman.
Begitu pula dalam melayani Sakramen-sakramen mereka menyatukan diri dengan
maksud dan cinta kasih Kristus. Secara khusus itu mereka jalankan, bila mereka
nampak bersedia sepenuhnya dan selalu untuk melayani Sakramen Tobat, setiap
kali itu secara wajar diminta oleh umat beriman. Dalam mendoakan ibadat harian
mereka menyuarakan maksud Gereja, yang atas nama seluruh umat manusia bertabah
dalam doa, dalam persatuan dengan Kristus, yang “senantiasa hidup untuk menjadi
pengantara kita” (Ibr 7:25).
Sambil membimbing dan menggembalakan umat
Allah, para imam didororng oleh Sang Gembala Baik, untuk menyerahkan nyawa
mereka demi domba-domba mereka[],
pun siap sedia juga untuk pengorbanan yang paling luhur, mengikuti teladan para
imam, yang pada zaman sekarang pun tidak menolak untuk mengorbankan hidupnya.
Sebagai pembina imam mereka sendiri “penuh keberanian untuk memasuki tempat
yang kudus dalam Darah Kristus” (Ibr 10:19), dan menghadap Allah “dengan hati
yang tulus ikhlas dalam kepenuhan iman” (Ibr 10:22). Mereka mempunyai harapan
yang teguh bagi jemaat beriman mereka[],
untuk dapat menghibur siapa saja yang mengalami bermacam-macam tekanan,
dengan hiburan-hiburan, seperti mereka sendiri juga dihibur oleh Allah[].
Selaku pemimpin jemaat mereka menjalankan askese yang khas bagi gembala
jiwa-jiwa, dengan mengesampingkan keuntungan-keuntungan pribadi, tanpa mencari
apa yang berfaedah bagi diri mereka, melainkan dengan mengusahakan apa yang
bermanfaat untuk banyak orang, supaya mereka diselamatkan[].
Mereka tetap melangkah maju untuk menunaikan reksa pastoral secara lebih
sempurna, dan bila diperlukan, bersedia menempuh cara-cara berpastoral yang
baru, dibawah bimbingan Roh cinta kasih, yang “bertiup ke mana Ia berkenan”[].
14. (Keutuhan
dan keselarasan kehidupan para imam)
Di dunia zaman
sekarang banyak sekali tugas yang harus dijalankan, dan sangat beranekalah
masalah-persoalan yang mencemaskan orang-orang serta sering kali perlu segera
mereka pecahkan, sehingga tidak jarang mereka terancam bahaya
terombang-ambingkan kian-kemari. Para imam sendiri, yang terlibat dalam
tugas-kewajiban yang bertubi-tubi dan terbagi-bagi perhatiannya, dengan cemas
dapat bertanya-tanya, bagaimana mereka mampu memperpadukan kehidupan batin
dengan kegiatan lahiriah mereka. Keutuhan hidup itu tidak tercapai melulu
dengan mengatur secara lahiriah karya-karya pelayanan, pun tidak melalui
praktek latihan-latihan rohani semata-mata, betapa pun itu semua ikut mendukung
keselarasan hidup. Tetapi para imam mampu mewujudkan keutuhan itu, bila dalam
menjalankan pelayanan mereka mengikuti teladan Kristus Tuhan, yang makanan-Nya
ialah: menjalankan kehendak Bapa, yang mengutus-Nya untuk menyelesaikan
karya-Nya[].
Memang benarlah, untuk tiada hentinya
menjalankan kehendak Bapa itu di dunia melalui Gereja, Kristus berkarya dengan
pengantara para pelayan-Nya. Oleh karena itu Ia tetep menjadi dasar dan sumber
keutuhan hidup mereka, bila mereka menyatukan diri dengan kristus dalam
mengenal kehendak Bapa, maupun dalam penyerahan diri mereka bagi kawanan yang
menjadi tanggung jawab mereka[].
Demikianlah, dengan menjalankan peranan Sang Gembala Baik, mereka akan menemukan
dalam pengalaman cinta kasih kegembalaan itu sendiri ikatan kesempurnaan
imamat, yang akan menyatukan kehidupan serta kegiatan mereka. Cinta kasih
kegembalaan itu[]
terutama bersumber pada korban Ekaristi, yang karena itu menjadi pusat dan
dasar akar seluruh kehidupan imam, sehingga semangat imamat berusaha meresapkan
dalam dirinya apa yang berlangsung di atas altar pengorbanan. Dan itu hanyalah
tercapai, bila para imam sendiri melalui doa kian mendalam menyelami misteri
kristus.
Untuk dapat mewujudkan keutuhan hidup
mereka secara konkrit juga, hendaknya para imam mempertimbangkan segala usaha
mereka dengan menilai, di manakah letak kehendak Allah[],
artinya: manakah kesesuaian antara kegiatan-kegiatan itu dengan kaidah-kaidah
perutusan Gereja menurut Injil. Sebab kesetiaan terhadap Kristus tidak
terceraikan dari kesetiaan terhadap Gereja-Nya. Maka cinta kasih kegembalaan
meminta, supaya para imam selalu berkarya dalam ikatan persekutuan dengan para
Uskup serta saudara-saudara seimamat lainnya, supaya mereka jangan percuma saja
menjalankan kegiatan mereka[].
Dengan bertindak begitu para imam akan menemukan keutuhan hidup mereka sendiri
justru dalam kesatuan perutusan Gereja. Begitulah mereka akan dipersatukan
dengan Tuhan mereka, dan melalui Dia dengan Bapa, dalam Roh Kudus, sehingga
dapat menikmati hiburan rohani serta kegembiraan yang meluap[].
II.
TUNTUTAN-TUNTUTAN ROHANI YANG KHAS DALAM KEHIDUPAN IMAM
15. (Kerendahan
hati dan ketaatan)
Diantara
keutamaan-keutamaan yang perlu sekali bagi pelayanan para imam layaklah
disebutkan sikap hati yang selalu bersedia bukan untuk mencari kehendak
sendiri, melainkan kehendak Dia yang mengutus mereka[].
Sebab karya ilahi – untuk melaksanakan itu mereka telah dikhususkan oleh Roh
Kudus[] –
melampaui semua kekuatan manusiawi. “Apa yang lemah bagi dunia, dipilih oleh
Allah, untuk memalukan yang kuat” (1Kor 1:27). Maka menyadari kelemahannya
sendiri, pelayan Kristus yang sejati bekerja dengan rendah hati,
mempertimbangkan apa yang berkenan kepada Allah[],
dan, bagaikan tawanan Roh[]
dalam segalanya dibimbing oleh kehendak Dia, yang menghendaki keselamatan
semua orang. Kehendak itu dapat ditemukan dan dilaksanakannya dalam situasi
sehari-hari, dengan melayani dalam kerendahan hati mereka semua, yang oleh
Allah dipercayakan kepadanya, dalam tugas yang menjadi tanggungannya dan dalam
bermacam-macam peristiwa hidupnya.
Karena pelayanan imamat itu pelayanan
Gereja sendiri, maka hanya dapat dilaksanakan dalam persekutuan hirarkis
seluruh Tubuh. Maka cinta kasih kegembalaan mendesak para imam, untuk dalam
rangka persekutuan itu melalui ketaatan membaktikan kehendak mereka sendiri
dalam pengabdian kepada Allah dan sesama, sambil menerima dan menjalankan dalam
semangat iman apa yang diperintahkan atau dianjurkan oleh Paus dan oleh Uskup
mereka sendiri serta oleh para pemimpin lainnya; sambil dengan sukarela
mengorbankan kemampuan dan bahkan diri mereka sendiri[],
dalam tugas manapun yang dipercayakan kepada mereka, juga dalam tugas yang agak
rendah dan tidak terpandang. Sebab dengan demikian mereka melestarikan dan
memantapkan kesatuan yang diperlukan dengan rekan-rekan mereka sepelayanan,
terutama dengan mereka, yang oleh Tuhan ditetapkan sebagai pemimpin-pemimpin Gereja-Nya
yang kelihatan; dan mereka berkarya demi pembangunan Tubuh Kristus, yang
bertumbuh “melalui segala sendi-sendi pelayanan”[].
Ketaatan itu, yang mengantar kepada kebebasan yang lebih dewasa putera-putera
Allah, pada hakekatnya supaya para imam – sementara dalam menunaikan tugas
mereka, terdorong oleh cinta kasih, mereka dengan bijaksana merintis
jalan-jalan baru untuk meningkatkan kesejahteraan Gereja, - penuh kepercayaan
mengemukakan prakarsa-prakarsa mereka, serta menekankan kebutuhan-kebutuhan
jemaat yang diserahkan kepada mereka, tetapi selalu bersedia pula mematuhi
keputusan mereka, yang menjalankan fungsi utama dalam kepemimpinan Gereja
Allah.
Melalui kerendahan hati serta ketaatan
yang sukarela dan penuh tanggung jawab itu para imam menjadi secitra dengan
kristus, penuh citarasa seperti terdapat pada Kristus Yesus, yang “mengosongkan
Diri dengan mengenakan penampilan seorang hamba … menjadi taat sampai mati”
(Flp 2:7-9); Dia, yang dengan ketaatan-Nya itu telah mengalahkan dan menebus
ketidaktaatan Adam, menurut sabda Paulus: “Karena ketidak-taatan satu orang
banyak orang telah menjadi pendosa; begitu pula karena ketaatan satu orang
banyak orang menjadi benar” (Rom 5:19).
16. (Selibat:
diterima dan dihargai sebagai kurnia)
Pantang sempurna
dan seumur hidup demi Kerajaan Sorga telah dianjurkan oleh kristus Tuhan[],
dan di sepanjang masa, juga zaman sekarang ini, oleh banyak orang kriten telah
diterimakan dengan sukarela dan dihayati secara terpuji. Pantang itu oleh
Gereja selalu sangat dijunjung tinggi bagi kehidupan imam. Sebab merupakan
lambang dan sekaligus dorongan cinta kasih kegembalaan, serta sumber istimewa
kesuburan rohani di dunia[].
Memang pantang itu tidak dituntut oleh imamat berdasarkan hakekatnya, seperti
ternyata juga dari praktek Gereja Purba[]
dan dari tradisi Gereja-Gereja Timur. Di situ, kecuali mereka, yang bersama
semua Uskup berkat kurnia rahmat memilih menghayati selibat, terdapat juga
imam-imam beristeri yang besar sekali jasanya. Sementara menganjurkan selibat
gerejawi, Konsili ini sama sekali tidak bermaksud merubah tata tertib yang
berbeda, yang berlaku secara sah di Gereja-Gereja Timur. Konsili penuh kasih
mendorong mereka semua, yang telah menerima imamat dalam perkawinan, supaya
mereka tabah dalam panggilan suci, dan tetap harus membaktikan hidup mereka
sepenuhnya serta dengan tulus ikhlas kepada kawanan yang diserahkan kepada
mereka[].
Tetapi ditinjau dari pelbagai sudut
selibat mempunyai kesesuaian dengan imamat. Sebab perutusan imam seutuhnya
dibaktikan dalam pengabdian kepada kemanusiaan baru, yang oleh Kristus yang
jaya atas maut melalui Roh-Nya dibangkitkan di dunia, dan berasal “bukan dari
darah atau dari daging, bukan pula secara jasmani oleh keinginan seorang
laki-laki, melainkan dari Allah” (Yoh 1:13). Dengan menghayati keperawanan atau
selibat demi Kerajaan Sorga[],
para imam secara baru dan luhur dikuduskan bagi kristus. Mereka lebih mudah
berpaut pada-Nya dengan hati tak terbagi[],
lebih bebas dalam kristus dan melalui Dia membaktikan diri dalam pengabdian
kepada Allah dan sesama, lebih lancar melayani kerajaan-Nya serta karya
kelahiran kembali adikodrtai, dan dengan demikian menjadi lebih cakap untuk
menerima secara lebih luas kebapaan dalam kristus. Jadi dengan demikian mereka
menyatakan dihadapan umum, bahwa mereka bermaksud seutuhnya membaktikan diri kepada
tugas yang dipercayakan kepada mereka, yakni mempertunangkan umat beriman
dengan satu Pria, dan menghadapkan mereka sebagai perawan murni kepada Kristus[].
Demikianlah mereka membangkitkan kesadaran akan perkawinan penuh rahasia, yang
telah diciptakan oleh Allah dan di masa depan akan ditampilkan sepenuhnya,
yakni bahwa Gereja hanya mempunyai Kristus sebagai Mempelai satu-satunya[].
Kecuali itu mereka menjadi lambang hidup dunia yang akan datang, tetapi
sekarang sudah hadir melalui iman dan cinta kasih: di situ puteri-puteri
kebangkitan tidak akan menikah dan dinikahkan[].
Karena alasan-alasan yang di dasarkan pada
misteri Kristus serta perutusannya itulah, maka selibat, yang semula dianjurkan
kepada para imam, kemudian dalam Gereja Latin di wajibkan berdasarkan hukum
bagi siapa saja, yang akan menerima Tahbisan suci. Mengenai mereka yang diperuntukkan
bagi imamat, ketetapan hukum itu oleh Konsili suci ini sekali lagi disetujui
dan dikukuhkan. Konsili percaya, bahwa kurnia selibat, yang begitu cocok bagi
imamat Perjanjian Baru, dalam Roh akan dikurniakan penuh kemurahan oleh Bapa,
dan yang begitu jelas dipuji oleh Tuhan[],
serta tetap menyadari misteri-misteri agung, yang dilambangkan dan diwujudkan
olehnya. Semakin pantang di dunia masa kini oleh banyak orang dianggap
mustahil, semakin para imam dengan tabah dan rendah hati akan memohon bersama
dengan Gereja rahmat kesetiaan, yang selalu akan dikurniakan kepada mereka yang
memohonnya. Sementara itu hendaknya mereka memanfaatkan segala bantuan adikodrati maupun kodrati, yang tersedia bagi semua
orang. Terutama pedoman-pedoman askese, yang sudah teruji berkat pengalaman
Gereja, dan yang di dunia sekarang tetap dibutuhkan, hendaknya tetap mereka
laksanakan. Oleh karena itu Konsili suci ini meminta bukan saja kepada para
imam, melainkan kepada segenap umat beriman, supaya mereka tetap menjunjung
tinggi anugerah selibat imam yang begitu berharga, dan supaya mereka semua
memohon kepada Allah, supaya Ia selalu menganugerahkan kurnia itu secara
melimpah kepada gereja-Nya.
17. (Sikap
terhadap dunia dan harta duniawi – Kemiskinan sukarela)
Melalui pergaulan
persahabatan dan persaudaraan antar mereka sendiri dan dengan orang-orang lain,
para imam dapat belajar mengembangkan nilai-nilai manusiawi dan menghargai
ciptaan-ciptaan sebagai kurnia Allah. Tetapi selama hidup di dunia hendaknya
mereka selalu menyadari bahwa seturut
sabda Tuhan Guru kita mereka bukanlah dari dunia[].
Maka sambil menggunakan hal-hal duniawi seolah-olah tidak menggunakannya[],
mereka akan mencapai kebebasan dari segala kesibukan yang tak teratur, dan akan
lebih terbuka untuk mendengarkan sabda ilahi dalam hidup sehari-hari. Dari
kebebasan dan sikap terbuka itu tumbuhlah sikap penegasan rohani, yang membantu
mereka menemukan sikap yang tepat terhadap dunia dan harta duniawi. Bagi para
imam sikap itu penting sekali, sebab perutusan Gereja memang berlangsung di
tengah dunia, lagi pula hal-hal tercipta memang sungguh dibutuhkan bagi
perkembangan pribadi manusia. Maka hendaknya mereka penuh rasa syukur atas
segala sesuatu, yang mereka terima dari Bapa di Sorga untuk hidup secara layak.
Akan tetapi mereka perlu mempertimbangkan dalam cahaya iman segala sesuatu yang
mereka alami, supaya mereka menemukan cara yang tepat untuk menggunakan hal-hal
duniawi sesuai dengan kehendak Allah, dan menolak segala sesuatu yang merugikan
perutusan mereka.
Sebab para imam Tuhan sendirilah “bagian
dan milik pusaka” (Bil 18:20). Maka mereka harus menggunakan hal-hal duniawi
hanya demi tujuan-tujuan yang sungguh halal menurut ajaran Kristus Tuhan dan
peraturan Gereja.
Mengenai harta milik yang sungguh bersifat
gerejawi: hendaklah para imam sebagamana mestinya mengurusi harta itu menurut
katentuan hukum kanonik, sedapat mungkin dengan bantuan para awam yang ahli.
Hendaknya milik itu selalu mereka peruntukkan bagi tujuan-tujuan, yang memang
boleh diusahakan oleh Gereja, dan menghalalkan harta-milik itu baginya, yakni:
untuk mengatur pelaksanaan ibadat kepada Allah, untuk menyediakan rezeki hidup
secukupnya bagi klerus, begitu pula untuk melaksanakan karya-karya kerasulan
dan cinta kasih, terutama terhadap kaum miskin[].
Sedangkan harta, yang mereka peroleh
selama menunaikan suatu jabatan gerejawi, hendaknya – dengan tetap
mengindahkan hukum khusus[]
– digunakan oleh para imam maupun para Uskup pertama-tama untuk dapat hidup
secara layak, dan untuk menjalankan kewajiban-kewajiban status hidup mereka.
Apa yang masih tersisakan, hendaknya mereka peruntukkan bagi kesejahteraan
Gereja atau karya-karya cinta kasih. Maka dari itu hendaknya jabatan gerejawi
jangan dijadikan kesempatan untuk memperkaya diri; jangan pula penghasilan yang
di peroleh daripadanya digunakan untuk memperluas milik kaum kerabat sendiri[].
Oleh karena itu janganlah para imam menaruh hati pada harta-kekayaan[].
Hendaknya mereka selalu menghindari segala keserakahan, dan sungguh-sungguh
menghindari segala kesan mau berdagang.
Bahkan para imam di undang untuk hidup
dalam kemiskinan sukarela. Dengan begitu mereka secara lebih nyata menyerupai
Kristus, dan lebih siap-sedia untuk pelayanan suci. Sebab demi kita Kristus
telah menjadi miskin, padahal Ia kaya, supaya karena kemiskinan-Nya kitalah
yang menjadi kaya[].
Melalui teladan para Rasul telah memberi kesaksian, bahwa kurnia Allah yang
Cuma-Cuma harus disalurkan dengan Cuma-Cuma pula[],
dan bahwa mereka tahu menderita kekurangan dan mengalami kelimpahan[].
Tetapi juga semacam penggunaan bersama barang-barang, seperti persekutuan
harta-milik yang sangat dihargai dalam sejarah Gereja Purba[],
dapat membuka jalan lapang sekali bagi cinta kasih kegembalaan. Dengan corak
hidup itu para imam secara terpuji dapat mempraktekkan semangat kemiskinan,
yang dianjurkan oleh Kristus.
Maka dibimbing oleh Roh Tuhan, yang
mengurapi Sang penyelamat dan mengutus-Nya mewartakan Injil kepada kaum miskin[],
hendaknya para imam maupun para Uskup menghindari segala sesuatu, yang entah
bagaimana dapat menjauhkan kaum miskin. Hendaknya mereka, lebih lagi dari para
murid Kristus lainnya, menyingkirkan segala kesan kesia-kesiaan pada milik
kepunyaan mereka. Rumah kediaman hendaknya mereka atur sedemikian rupa,
sehingga nampak terbuka bagi siapa saja, dan tidak seorang pun, juga yang
paling hina, merasa takut mengunjunginya.
III.
UPAYA-UPAYA
YANG MENDUKUNG KEHIDUPAN PARA IMAM
18. (Upaya-upaya
untuk mengembangkan hidup rohani)
Supaya dapat
menghayati persatuan dengan Kristus dalam segala situsi hidup mereka, selain
melalui pelaksanaan pelayanan mereka penuh kesadaran, bagi para imam tersedia
juga berbagai upaya bersama maupun khusus, baru maupun lama, yang tiada hentinya
disiapkan oleh Roh Kudus dan umat Allah, dan yang dianjurkan, bahkan ada
kalanya juga diwajibkan oleh Gereja demi pengudusan para anggotanya[].
Yang lebih luhur dari segala bantuan rohani ialah tindakan-tindakan, yang bagi
umat beriman menyediakan santapan Sabda Allah pada kedua meja, yakni Kitab suci
dan Ekaristi[].
Bagi siapa pun jelaslah, betapa penting bagi pengudusan para imam untuk terus
menerus memanfaatkannya.
Para pelayan rahmat sakramental
dipersatukan mesra dengan Kristus Sang Penyelamat dan gembala melalui
penerimaan Sakramen-Sakramen yang memperbuahkan rahmat, khususnya dengan sering
menerima Sakramen Tobat, yang bila disiapkan melalui pemeriksaan batin harian,
sungguh merupakan dukungan kuat bagi pertobatan hati yang memang perlu kepada
cinta kasih Bapa yang penuh belas kasihan. Dalam terang iman yang dikembangkan
melalui bacaan Kitab suci, para imam dapat dengan tekun menyelidiki
isyarat-isyarat kehendak Allah maupun dorongan-dorongan rahmat-Nya dalam pelbagai
peristiwa hidup. Demikianlah mereka dapat makin bertambah peka terhadap
perutusan yang mereka terima dalam Roh Kudus. Bagi sikap peka-terbuka itu para
imam senantiasa menemukan contoh yang mengagumkan pada diri Santa Perawan
Maria, yang dibimbing oleg Roh Kudus membaktikan diri sepenuhnya kepada misteri
penebusan umat manusia[].
Hendaknya para imam dengan sikap bakti dan ibadat penuh kasih menghormati serta
mencintai Maria sebagai Bunda Sang Imam Agung yang kekal dan Ratu para Rasul,
serta sebagai pelindung pelayanan mereka.
Untuk menjalankan pelayanan mereka dengan
setia, hendaknya mereka memperhatikan wawancara harian dengan Kristus Tuhan,
dalam kunjungan serta ibadat pribadi terhadap Ekaristi suci. Hendaknya mereka
dengan senang hati meluangkan waktu bagi retret rohani, yang sungguh menghargai
bimbingan rohani. Dengan pelbagai cara, khususnya melalui doa batin yang teruji
serta berbagai bentuk doa lainnya, yang secara bebas dapat mereka pilih
sendiri, para imam mencari dan bersungguh-sungguh memohon kepada Allah semangat
sembah-sujud yang sejati, upaya mereka untuk bersama dengan jemaat yang mereka
bimbing bersatu mesra dengan Kristus Pengantara Perjanjian Baru, dan dengan
demikian sebagai putera-puteri angkat dapat berseru: “Abba, Pater” (Rom 8:15).
19. (Studi
dan ilmu pastoral)
Dalam upacara
Tahbisan para imam diperingatkan oleh Uskup: “hendaknya mereka masak dalam
pengetahuan”, dan ajaran mereka menjadi “usada rohani bagi umat Allah”[].
Ilmu pengetahuan pelayan kudus harus kudus juga, karena digali dari sumber yang
kudus dan mengarahkan kepada tujuan yang kudus pula. Oleh karena itu
pertama-tama ditimba dari pembacaan dan renungan Kitab suci[],
tetapi dikembangkan juga dengan mempelajari para Bapa dan Pujangga Gereja serta
pusaka-pusaka Tradisi lainnya. Selain itu, untuk dengan tepat mengena menjawab
masalah-persoalan, yang ramai dibicarakan oleh orang-orang zaman sekarang, para
imam harus mengenal dengan baik dokumen-dokumen Magisterium dan terutama
Konsili-Konsili serta para Paus; begitu pula hendaknya mereka menimba ilmu dari
karya tulis para pengarang ilmu teologi yang terbaik dan dapat diandalkan.
Tetapi karena sekarang ini kebudayaan dan
ilmu-ilmu kudus menempuh langkah-langkah perkembangan yang baru, para imam
diundang, untuk secara tepat dan terus menerus menyempurnakan ilmu-pengetahuan
mereka tentang hal-hal ilahi maupun manusiawi, dan dengan demikian menyiapkan
diri untuk menjalin dialog yang lebih aktual dengan sesama yang semasa.
Supaya para imam lebih mudah belajar
dengan tekun, dan lebih efektif mempelajari berbagai cara mewartakan Injil dan
merasul, hendaknya dikerahkan segala usaha untuk menyediakan bagi mereka
upaya-upaya yang sungguh membantu, misalnya – menurut situasi masing-masing
wilayah – diselenggarakan kursus-kursus atau pertemuan-pertemuan, didirikan
pusat-pusat untuk studi pastoral, disediakan perpustakaan, dan dimungkinkan
bimbingan studi oleh pribadi-pribadi yang cakap. Kecuali itu hendaknya para
Uskup masing-masing atau bersama-sama mempertimbangkan cara yang lebih baik
untuk mengusahakan, supaya semua para imam mereka, pada masa-masa tertentu,
tetapi terutama selang beberapa tahun sesudah pentahbisan mereka[],
dapat mengikuti kursus, yang membuka kesempatan bagi mereka memperoleh
pengetahuan lebih luas tentang metode-metode pastoral dan ilmu teologi, untuk
memantapkan hidup rohani, dan untuk bertukar pengalaman kerasulan dengan
rekan-rekan imam[].
Dengan upaya-upaya itu dan bantuan-bantuan lainnya yang sesuai hendaknya secara
khas ditolong juga para pastor kepala paroki yang baru dan mereka yang diserahi
karya pastoral yang baru, pun juga mereka yang di utus ke keuskupan atau bangsa
lain.
Akhirnya hendaknya para Uskup sungguh
berusaha, supaya ada beberapa yang menekuni studi ilmiah lebih mendalam
dibidang teologi, supaya selalu tersedia dosen-dosen yang cakap untuk
pendidikan imam, supaya para imam lainnya dan umat beriman dibantu untuk dapat
pengajaran yang mereka butuhkan, dan supaya perkembangan sehat dibidang-bidang
teologi, yang memang sungguh perlu bagi gereja, mendapatkan dukungan.
20. (balas
jasa yang wajar bagi para imam)
Sedah selayaknyalah
para imam, yang menghambakan diri kepada Allah dengan menunaikan fungsi yang
diserahkan kepada mereka, menerima balas jasa yang sewajarnya, sebab “pantaslah
pekerja mendapat upahnya” (Luk 10:7)[].
Lagi pula “Tuhan telah menetapkan, bahwa mereka yang memberitakan Injil, harus
hidup dari pemberitaan Injil itu” (1Kor 9:14). Maka dari itu, sejauh dari pihak
lain tidak disediakan balas jasa yang
wajar bagi para imam, umat beriman sendiri, yang kesejahteraannya dilayani oleh
para imam, terikat kewajiban yang sesungguhnya untuk mengusahakan, supaya bagi
mereka disediakan sumbang-bantuan seperlunya untuk hidup secara layak dan
sebagaimana mestinya. Para Uskup harus mengingatkan umat beriman akan kewajiban
mereka itu serta mengusahakan, - entah
masing-masing untuk keuskupannya sendiri, atau lebih baik beberapa Uskup
sekaligus untuk wilayah mereka bersama, - supaya ditetapkan
peraturan-peraturan, yang seperti harusnya menjamin rezeki hidup yang
sepatutnya bagi mereka, yang menjalankan atau pernah menjalankan suatu tugas
pengabdian kepada umat Allah. Adapun balas jasa, yang harus diterima
masing-masing, dengan memperhitungkan sifat tugasnya dan mempertimbangkan
kondisi-kondisi setempat maupun semasa, pada dasarnya hendaklah sama bagi semua
imam yang berada dalam situasi yang sama. Hendaknya balas jasa itu sesuai
dengan kondisi mereka, pun sekaligus memungkinkan mereka, untuk tidak hanya
memberi upah selayaknya kepada mereka yang melayani para imam, melainkan juga
memberi sekedar bantuan kepada kaum miskin. Kecuali itu balas jasa hendaklah
sedemikian rupa, sehingga memungkinkan para imam untuk setiap tahun menikmati
liburan yang sewajarnya dan mencukupi. Para Uskup harus mengusahakan, supaya imam-imam
sempat berlibur.
Akan tetapi fungsi yang dijalankan oleh
para imamlah, yang harus harus diutamakan. Maka dari itu apa yang disebut
sistim “beneficium” hendaknya ditinggalkan, atau setidak-tidaknya dirombak
sedemikian rupa, sehingga unsur “beneficium”, atau hak atas penghasilan
berdasarkan harta bawaan yang terkait dengan jabatan, dipandang sekunder.
Sedangkan yang menurut hukum diutamakan hendaknya jabatan gerejawi sendiri,
yang selanjutnya harus diartikan: tugas mana pun juga yang diberikan secara
tetap, dan dilaksanakan untuk tujuan rohani.
21. (Pembentukan
kas umum, dan pengadaan jaminan sosial bagi para imam)
Hendaknya selalu
dikenangkan teladan umat beriman dalam Gereja purba di Yerusalem: disitu
“segala sesuatu merupakan milik mereka bersama” (Kis 4:32); “dibagi-bagikan
kepada setiap orang sesuai dengan keperluannya” (Kis 4:35). Maka sangat pada
tempatnyalah, bahwa sekurang-kurangnya di wilayah-wilayah, tempat rezeki hidup
klerus sepenuhnya atau sebagian besar tergantung dari persembahan-persembahan
umat beriman, - harta milik yang dipersembahkan untuk maksud itu dengan Uskup,
didampingi oleh imam-imam utusan dan – bila dianggap berguna – oleh
saudara-saudara awam juga yang mempunyai keahlian di bidang ekonomi. Dianjurkan
pula, supaya selain itu sedapat mungkin disetiap keuskupan atau daerah dibentuk
suatu kas umum, yang memungkinkan para Uskup untuk memenuhi kewajiban-kewajiban
lainnya terhadap pribadi-pribadi yang berjasa bagi Gereja, dan mencukupi
pelbagai hal kebutuhan keuskupan; pun juga yang memungkinkan
keuskupan-keuskupan yang lebih kaya membantu yang lebih miskin, supaya
kelimpahan pihak pertama melengkapi kekurangan pihak kedua[].
Kas umum itu terutama harus dibentuk dari harta hasil persembahan umat beriman,
tetapi juga dari sumber-sumber lain, yang perlu ditetapkan menurut hukum.
Selain itu di negeri-negeri, tempat
jaminan sosial bagi klerus belum diatur dengan baik, hendaknya
Konferensi-Konferensi Uskup mengusahakan, supaya – selalu sambil mengindahkan
hukum-hukum gerejawi maupun sipil –
didirikan yayasan-yayasan keuskupan, juga yang bergabung menjadi federasi, atau
yayasan-yayasan bersama untuk berbagai keuskupan, atau suatu perserikatan untuk
seluruh kawasan, yang dibawah pengawasan hirarki dilengkapi secukupnya baik
dengan apa yang disebut upaya-upaya pemeliharaan kesehatan dan bantuan medis
yang memadai, maupun dengan upaya-upaya yang memadai untuk mencukupi kebutuhan hidup para imam yang menderita sakit,
sudah invalid atau lanjut usia. Para imam hendaknya membantu yayasan yang telah
didirikan itu, terdorong oleh semangat solidaritas terhadap rekan-rekan imam,
ikut merasakan penderitaan mereka[].
Sementara itu hendaknya mereka renungkan, bahwa dengan demikian mereka sendiri,
tanpa rasa cemas menghadapi masa depan, dapat menghayati kemiskinan menurut
Injil dengan gembira, serta membaktikan diri sepenuhnya bagi keselamatan
jiwa-jiwa. Hendaknya mereka yang bertanggung jawab mengusahakan, supaya
yayasan-yayasan pada tingkat nasional saling berhubungan, sehingga bersama-sama
menjadi lebih kuat dan berkembang meluas.
KATA PENUTUP
DAN AJAKAN
22.
Sambil menyadari
kegembiraan hidup imamat, Konsili suci ini juga tidak dapat menanggapi sepi
kesukaran-kesukaran, yang dalam kenyataan hidup zaman sekarang dihadapi oleh
para imam. Konsili memahami juga, betapa situasi sosial ekonomi, bahkan adat
kebiasaan orang, telah berubah, dan betapa tata nilai-nilai dalam pandangan
mereka telah berbeda dari semula. Maka para pelayan Gereja, bahkan sejumlah
umat beriman juga, didunia ini merasa bagaikan sudah terasing dari padanya.
Dengan cemas mereka bertanya-tanya: upaya-upaya dan bahasa manakah yang cocok
untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Sebab halangan-halangan baru yang
menghambat iman, jerih-payah mereka yang nampak sia-sia, begitu pula rasa
kesepian yang mencekam mereka, dapat menjerumuskan mereka ke dalam bahaya
kemurungan.
Akan tetapi dunia,
seperti sekarang ini dipercayakan kepada cinta kasih dan pelayanan para Gembala
Gereja, begitu dikasihi oleh Allah, sehingga Ia menyerahkan Putra Tunggal-Nya demi
keselamatannya[].
Dan memang benarlah dunia itu terbelenggu karena banyaknya dosa; tetapi juga
dilimpahi banyak kemungkinan-kemungkinan. Dunia itulah yang menyediakan bagi
Gereja batu-batu hidup[],
untuk dibangun menjadi kediaman Allah dalam Roh[].
Roh Kudus itu jugalah, yang mendorong Gereja untuk membuka jalan-jalan baru
memasuki dunia zaman sekarang, dan menyerahkan serta mendukung
penyesuaian-penyesuaian pelayanan imam yang relevan baginya.
Hendaknya para imam
menyadari, bahwa dalam berkarya mereka tidak pernah seorang diri, melainkan
bertumpu pada kekuatan Allah yang mahakuasa. Hendaklah mereka penuh iman akan
Kristus, yang telah memanggil mereka untuk ikut menghayati Imamat-Nya, dengan
segala kepercayaan membaktikan diri melalui pelayanan mereka, dalam keyakinan
bahwa Allah berkuasa untuk makin menumbuhkan cinta kasih mereka[].
Hendaknya mereka sadari pula, bahwa saudara-saudara seimamat, bahkan umat
beriman di seluruh dunia, menjadi rekan-rekan mereka. Sebab semua imam bekerja
sama dalam melaksanakan rencana keselamatan Allah, yakni misteri Kristus atau
rahasia yang sejak kekal tersembunyi dalam Allah[],
yang hanya lambat-laun diwujudkan secara nyata, berkat berpadunya pelbagai
pelayanan demi pembangunan Tubuh Kristus, hingga terpenuhilah kurun waktunya.
Karena itu semua bersama Kristus tersembunyi dalam Allah[],
maka hanya dapat diterima dalam iman. Sebab dalam imanlah para pemimpin umat
Allah harus menempuh perjalanan, mengikuti teladan Abraham yang setia, yang
penuh iman “taat untuk berangkat ke negeri yang akan diterimanya menjadi milik
pusakanya, lalu ia berangkat tanpa mengetahui tempat yang ditujunya” (Ibr
11:8). Memanglah pengurus misteri-misteri Allah dapat diibaratkan orang yang
menabur benih di ladang. Tentang dia Tuhan bersabda: “Pada malam hari ia tidur
dan pada siang hari ia bangun, dan benih itu mengeluarkan tunas, dan tunas itu
makin tinggi. Bagaimana itu terjadi? Tidak diketahui oleh orang itu” (Mrk
4:27). Selanjutnya Tuhan Yesus, yang bersabda: “Percayalah, Aku telah mengalahkan
dunia” (Yoh 16:33), dengan kata-kata itu tidak menjanjikan kepada Gereja
kejayaan sempurna di dunia ini. Tetapi
Konsili suci bergembira, bahwa tanah, yang ditaburi benih Injil, sekarang di
banyak tempat menghasilkan buah dibawah bimbingan Roh Tuhan, yang memenuhi
dunia, dan yang dalam hati banyak imam serta umat beriman telah membangkitkan
semangat misioner yang sejati. Atas semuanya itu Konsili suci penuh cinta menyampaikan terima kasih kepada
para imam di seluruh dunia: “Bagi Dialah, yang dapat melakukan jauh lebih
banyak dari apa yang kita doakan atau pikirkan, seperti yang ternyata dari
kuasa yang bekerja dalam diri kita, bagi Dialah kemuliaan dalam jemaat dan
dalam Kristus Yesus turun temurun sampai selama-lamanya. Amin” (Ef 3:20-21).
Semua dan masing-masing pokok, yang telah diuraikan dalam Dekrit ini,
berkenan kepada para Bapa Konsili suci. Dan Kami, atas kuasa Rasuli yang oleh
Kristus diserahkan kepada kami, dalam Roh Kudus menyetujui, memutuskan dan
menetapkan itu semua bersama dengan para Bapa yang terhormat, lagipula
memerintahkan, agar segala sesuatu yang dengan demikian telah ditetapkan dalam
Konsili, dimaklumkan secara resmi demi kemuliaan Allah.
Roma, di gereja
Santo Petrus, tanggal 7 bulan Desember tahun 1965.
Saya PAULUS
Uskup Gereja Katolik
(Menyusul tanda tangan para Bapa Konsili)